Minggu, 01 Juli 2018

Surat yang Tak Tersampaikan



Dear Pahlawan Wanitaku yang Paling Cantik,

                Aku bersenandung bersama isak pagi ini
                Terulang memori yang seakan buram
                Tertutup tawa penuh penyesalan menahun
                Ditelan sepi tanpa hadirmu di sini

                    Empat detik kiasan empat tahun
Belum juga mengiring seiring waktu
Masih terasa bekas luka di sini
Kepergianmu yang masih kusesali

Maaf...
          Di saat itu aku hanya bisa diam
Tanpa berkeras mengarah kebebasan

Terima kasih...
Bertahan hingga detik itu
Memberi waktu penebusan detik yang terbuang

#nea
06.12.17

Senin, 13 November 2017

PRIA DAN AYAH





Ketika seorang Pria menyumbangkan sperma-nya dengan alasan cinta atau apapun dan proses pembuahannya berhasil, segera pria tersebut akan menjadi ayah secara biologis. Mudah bukan?


Ketika sang anak memulai tangisan pertamanya, saat itulah sang pria akan memulai perannya sebagai ayah yang sebenarnya, bukan hanya ayah biologis. Apa bedanya?


Ayah biologis adalah pendonor sperma kepada sel telur untuk proses pembuahan dalam pembentukan janin. Yang artinya, semua pria dapat menjadi seorang ayah biologis dengan sangat mudah, cukup dengan keinginan.


Ayah adalah sosok pria yang berperan dengan kasih dalam kehidupan anak. Sederhana, bukan? Seorang ayah biologis belum tentu dapat menjadi sosok ayah. Sosok ayah tidak perlu berasal dari dan menjadi ayah biologis.


Ayah zaman now, bahkan zaman old sudah ada hanya saja belum terkuak melebar akibat cepatnya penyebaran informasi via media social dan internet, kebanyakan beranggapan menjadi ayah adalah dengan mendonorkan spermanya. Hello, Bapak?? Pernah dengar BANK SPERMA? Mereka beranggapan dengan mendonorkan sperma, mereka akan otomatis menjadi ayah dan berhak mendapatkan penghargaan dan penghormatan. Lalu bagaimana dengan kewajibannya?


Seperti penjelasan sebelumnya, Ayah bertindak dengan kasih dalam kehidupan anak. Dengan kasih, sosoknya akan merasa bertanggung jawab untuk mendidik, membersarkan, mendukung, mengarahkan, hingga akhirnya melepas untuk berjalan sendiri.


Lalu kemana tanggung jawab saat fokus dengan hak? Itulah yang dinamakan dengan keegoisan, yang menjadi sifat dasar manusia.


Saat sosok yang seharusnya menjadi panutan dan cinta pertama putrinya berubah menjadi sosok yang paling ditakuti akan muncul dalam bentuk lain dalam hidupnya, bentuk yang disebut sebagai pasangan, saat itulah peran Ayah tidak ada, hanya tertinggal Ayah biologis.


Selamat Hari Ayah untuk para Ayah di luar sana!


Untuk para Ayah Biologis, semoga selamat!


Ruth Hutapea
Nov 13, 2017





Jumat, 11 Agustus 2017

MEMAAFKAN DAN MELUPAKAN



 
Maaf – termasuk dalam tiga kalimat ajaib dalam artikel jauh tahun-tahun lalu, silahkan scroll kalau berminat. Kata ajaib itu ditilik dari sudut pandang si peminta maaf. Lalu bagaimana dengan yang dimintai maaf?
 
“Eh, maaf ya saya gak sengaja.”

“Oh, iya. Gapapa kok.”


Lalu bagaimana dengan kesakitan yang mengakibatkan kepahitan, bahkan dari orang terdekat sekalipun? 


“Tuhan saja memaafkan, apalah kita ini sebagai manusia?”


Sebenarnya hati manusia itu lemah. Ketika ada yang meminta maaf dengan tulus, dengan senyuman dia akan memaafkan. Tapi, ketika hati tersakiti, pesan akan dikirimkan ke otak untuk mengingat rasa sakit tersebut. Hati mungkin memaafkan, tapi otak tidak akan melupakan. Begitulah cara kerjanya.


“Saya memaafkan tapi tidak melupakan”


  Jadi, ketika terjadi situasi meminta maaf – memaafkan, mana yang harus lebih disoroti?



“Meminta maaf itu tidak mudah, harus menurunkan gengsi.”

Begitulah kata para tetua di luar sana.


Jika masih melibatkan gengsi, walaupun orang tersebut mengaku salah, permintaan maaf itu tidak tulus. Kemungkinan untuk terulang lagi? Sangat besar. Saran saya, tidak usah meminta maaf. Sebaiknya segera ambil langkah seribu dari orang yang telah Anda sakiti. Dengan tidak melihat wajah Anda lagi, itu akan membantu mengurangi kepahitan orang tersebut, walaupun sedikit.

“Maafkanlah. Kamu pun pasti pernah berbuat salah ke orang lain”

Lagi, begitulah kata para tetua di luar sana.


Logikanya, jika kita sudah tahu rasa sakitnya seperti apa, apakah kita akan melakukan hal yang sama kepada orang lain? Logika akan menjawab: TIDAK. Lalu bagaimana dengan hati? Dalamnya hati siapa yang tahu, bukan?




Lalu bagaimana dengan yang tidak meminta maaf sama sekali? Jika kesakitan yang diberikan membuahkan kepahitan, buang jauh dia dari kehidupan Anda. Anda berhak untuk bahagia.



Dalam tulisan kali ini, saya banyak memakai kata jika dan jadi. Ini menunjukkan bahwa meminta maaf dan memaafkan adalah aksi timbal-balik, dimana aksi akan mendapatkan reaksi. Ah! Saya jadi merindukan pelajaran fisika saat SMA. Apa kabar guru-guru saya dulu?



Berfikirlah sebelum bertindak.

Jika tidak ingin disakiti, jangan menyakiti.

Jika tidak ingin meminta maaf, jangan menyakiti.

Jika tidak ingin diabaikan, jangan menyakiti.

Jika tidak ingin terbuang, jangan menyakiti.


Selalu mulai dari diri sendiri, jangan selalu melihat ke arah orang lain. Lebih mudah mengontrol diri sendiri dari pada mengontrol apa yang orang lain pikirkan dan rasakan.

“Kurang-kurangin drama dalam hidupmu!”

11 Agustus 2017,

Ruth Hutapea

Kamis, 22 Desember 2016

IJINKAN AKU MEMINTA KEMBALI INDONESIA-KU


Kepada kamu yang sedang berkoar-koar di luar sana, bolehkah aku meminta kembali Indonesiaku? Iya, Indonesia-ku yang memiliki semboyan BHINEKA TUNGGAL IKA dan berideologi dasar PANCASILA.


Dulu sekali, Nama Pancasila itu diucapkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 itu, katanya: “Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa - namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.”

Aku mengutipnya lagi, “Di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi” Indonesia-ku itu kekal dan abadi. Tidak apa-apa kalian bermain-main dengannya kemarin-kemarin, bahkan sampai saat ini. Tapi, bolehkah aku meminta Indonesia-ku kembali?

Yang aku ingat, Indonesia-ku itu tidak berkutat soal Agama dan Suku. Indonesia-ku itu tempat paling aman dan nyaman untuk tinggal bersama-sama dalam perbedaan. Justru Indonesia-ku itu dulu diperjuangkan bersama-sama tanpa melihat perbedaan. Jadi, bolehkah aku meminta Indonesia-ku kembali?

Indonesia-ku itu yang kusebut tempat aku pulang (nanti), yang kusebut rumah. Kalau begitu, bolehkah aku memina Indonesia-ku kembali?

Aku tidak tahu kalian menganggap apa Indonesia ini. Tapi bagiku, ini Indonesia-ku, milik-ku. Aku mengaku memiliki Indonesia, Aku juga tidak tahu apakah kalian juga merasa Indonesia ini milik kalian dan mampu “BERKATA DENGAN LANTANG” bahwa ini Indonesia-ku, milik-ku. Yang dengan demikian akan dijaga dan dipelihara sebagaimana adanya layaknya milik pribadi. Jadi bolehkan aku meminta kembali milik-ku, Indonesia-ku?

Aku memang belum bisa memberikan apa-apa untuk Indonesia-ku, tapi setidaknya aku berusaha untuk tidak mengacau, menodai, memecah belah, mengadu domba, meributkan perbedaan, dan merusak ideologinya. Dengan begitu, bolehkan aku meminta kembali Indonesia-ku?

Aku rasa kalian sudah cukup ‘meminjam’ Indonesia-ku untuk dijadikan lelucon dan mainan pemuas ego dan nafsu kalian. Tidak perlu menunggu sampai kalian bosan dan membuangnya, seperti anak kecil yang bosan dengan mainannya.

Sedih rasanya untuk meminta sesuatu yang merupakan milik-ku, aku harus meminta izin dari yang meminjamnya. Tapi tidak apa, asalkan kalian bisa mengembalikan Indonesia-ku yang kalian pinjam itu.

Jadi, izinkan aku meminta kembali Indonesia-ku. Bolehkah kalian mengembalikan Indonesia-ku?



22 Desember 2016,
Ruth Hutapea (Warga Negara Indonesia dan Ber-KTP Indonesia)

Selasa, 29 Maret 2016

I Love Him but I'm not Falling in Love with Him

It’s been a long time we’re together

Ada aku dimana ada kamu, ada kamu dimana ada aku
Hatiku selalu ingin berbagi kebahagiaan denganmu
Hatiku tidak ingin kamu juga merasakan sedihku

Tatapanmu selalu selangkah di depanku
Mengawasi agar aku tidak salah dalam melangkah
Begitu juga aku..

Tatapanmu selalu mengikuti tatapanku
Memastikan agar aku tidak terluka dalam memilah
Begitu juga aku..

Kita terbiasa seperti itu...

Dear you my very best friend,
I love you but I’m not falling in love with you
Hatiku tidak bisa dipaksakan biarpun terbiasa denganmu
Katakana aku tidak mengerti cinta,
Karena ada yang bilang cinta datang karena terbiasa
Tapi aku menyayangimu..

Maaf aku melukaimu,
Aku tidak ingin melepasmu sebagai sahabatku.
Katakan aku egois Karena tetap ingin bersamamu
Bisakah kau menerimaku sama seperti dulu?

I love him, but I’m not falling in love with him
Because he is my verybery best friend

Ruth Hutapea
29 March 2016

Jumat, 07 Agustus 2015

It's Great to Have a Normal Night Then a Normal Morning!


Hari ini saya belajar bersyukur lagi. Honestly, saya belakangan mulai lupa bagaimana caranya bersyukur dan berpikir positif. Hidup ini berat, kawan! Tapi pagi ini saya merasa benar-benar bersyukur. Bersyukur karena sakit.

Agak membingungkan memang, lagi sakit kok malah disyukurin? Saya bersyukur bukan karena saya mendapatkan perhatian lebih waktu sakit, seperti drama, sinetron, atau novel kebanyakan. Saya bersyukur karena bisa merasakan bagaimana melewati malam yang normal dan pagi yang normal.

Sudah beberapa bulan terakhir insomnia saya kambuh. Sebenarnya, sejak SMA saya sudah insomnia (note: saya tidak mau menggunakan kata 'mengidap'. Rasanya menyedihkan kalau pakai kata itu). Rutinitasnya ya tidur subuh atau pagi, bangun siang atau menjelang sore, bahkan bisa tidak tidur semalaman sampai malam berikutnya. Kalau dihitung, saya pernah tidur tidak lebih dari 30 jam selama dua minggu. Jangan tanya apa penyebabnya.

Tubuh saya menyerah. Dua hari yang lalu saya terserang flu berat yang timbul tenggelam dan saya berasa kepala batu dalam arti harafiah. Hebatnya lagi lidah saya menolak kopi, itu yang paling menyedihkan. Biasanya kalau saya minum kopi, paling tidak saya akan bisa tidur selama 6 jam nantinya.

Puncaknya tadi malam. Thank God masih ada si Mamet (boleh baca Truly Bestriend-Soulmate untuk tahu siapa itu si Mamet) jadi makan malam terselamatkan berhubung saya lagi malas masak. Nggelesot ke kamar Kartika buat minta obat, berharap ini obat ampuh sekali minum saja. Mungkin juga karena efek ketawa-ketiwi setelah bertelpon-ria dengan Christin, hatinya lebih ringan. Sebelum doa tidur, lagu pilihan saya malah 'Hati yang Gembira adalah Obat'. Manjur! Gak lama setelah itu saya tertidur. Puji Tuhan!

Pukul 04.19 (Masih ingat pake banget) saya terbangun, dalam keadaan segar. Rutinitas saya, berhubung masih jobless, mantengin wattpad, nyalain laptop buat browsing lowongan, dan berkunjung ke kamar Chintya. Betewe, saya bakalan ditinggal Jeunk Tya selama weekend ke Bromo. I envy you, Jeunk!

Senang rasanya bisa menikmati berita pagi di TV, dengar suara anak kosan mondar-mandir di luar, update di Path pagi-pagi dengan keadaan SUDAH bagun tidur, nonton film Bollywood Hum Saath Saath Hain karena lagi kangen suasana keluarga (FIVE STARS dari saya), dan bisa nge-blog dengan lancar pagi ini.

Apa yang paling bikin geli? Saya excited karena bisa merasakan lapar di pagi hari. Bikin pengen masak ini-itu. Tapi apa daya, kepala masih berat jadi malas gerak ke dapur. Sementara ini, air putih dan biskuit dulu yang jadi target.

Bahagia itu sederhana.
Sesederhana bisa tidur malam.
Sesederhana bisa bangun subuh.
Sesederhana bisa lapar di pagi hari.

I got my good mood back! Let's have a good coffee and a yummy food today, fellas!!!

Ruth Hutapea
7 Agustus 2015

Kamis, 19 Februari 2015

HARUSKAH AKU MENYERAH ? (Make You Feel My Love - Glee Cast)



Apa yang kalian rasakan saat mendengar lagu ini? Merasa sedih? Galau? Lebay? Bodoh? Saat mendengar lagu inilah saya merasa menyerah dengan keadaan. Sangat tidak sesuai dengan lirik lagu ini, bukan? Ya, saya menyerah. Saya menyerah untuk mencintai seseorang yang sudah seharusnya dan wajib saya cintai. Saya tidak punya alasan lagi untuk mencintai sosok tersebut.
Tidak ada satu pun dari lirik tersebut yang belum saya lakukan, tidak ada niat untuk menyombongkan diri. Akan ada titik di saat seseorang akan menyerah untuk mencintai.
Katakan saja cinta itu buta. Katakan saja cinta itu murni. Tapi tidak begitu dengan yang saya terima, mungkin karena sosok itu tidak pernah mencintai saya. Tidak ada gunanya saya memaksakan kehendak agar orang tersebut mencintai saya, bukan?
Saya mencintai seseorang yang tidak pernah memberikan apapun pada saya di saat sosok tersebut seharusnya memberikan cinta yang melimpah. Saya mencintai seseorang yang seharusnya menjadi pahlawan dalam hidup saya. Saya mencintai seseorang yang seharusnya mengajarkans saya arti hidup dan bagaimana menjalani hidup. Di titik ini saya merasa cukup untuk menggunakan kata seharusnya.
“Jangan terlalu berharap kalau tidak ingin dikecewakan”. Sepertinya saya salah karena meletakkan harapan yang tinggi. Lagi! Saya ditegur karena berpengharapan pada manusia, bukan Tuhan. Hanya Tuhan yang tahu seberapa besar pengharapan saya pada sosok itu sedari awal cerita ini ada, bahkan berharap akan perubahan yang saat ini sudah sia-sia.
Ya! Saya menyerah. Saya menyerah untuk menghapus air matanya, menyerah untuk membelanya, menyerah untuk memeluknya, menyerah untuk berkorban baginya, menyerah untuk membuatnya bahagia, menyerah untuk memenuhi mimpinya. Saya menyerah untuk membuat sosok tersebut merasakan cinta dari saya.
Perasaan bersalah muncul dengan sangat jelas saat ini. Perasaan bersalah karena tidak dapat memenuhi keinginan terakhirnya, satu-satunya orang yang menghubungkan saya dengan sosok itu. Saya menyerah untuk menggunakan perasaan.
Semoga bukan penyesalan tapi kebahagiaan yang menjadi buah dari keputusan ini, bukan hanya bagi saya tapi juga untuk sosok tersebut – sosok yang sempat saya cintai – setidaknya untuk saat ini, saat logika kembali berjalan meninggalkan perasaan.
Maaf, saya menyerah.
Ruth Hutapea
19 Februari 2015

Surat yang Tak Tersampaikan

Dear Pahlawan Wanitaku yang Paling Cantik,                 Aku bersenandung bersama isak pagi ini                 Terulang memori...