Rabu, 28 Desember 2011

Untukmu, Loetoeng

Kehilanganmu berhasil membuatku bangkit dari kemalasan menyelesaikan Tugas Akhirku. Dari awal kau yang selalu mendesakku untuk menyelesaikannya supaya kau bisa menghadiri wisudaku. Tapi aku tidak peka akan semua ini.
Kehilanganmu membuatku semakin memburu target menyelesaikan study-ku. Tapi semua itu aku tahu sudah terlambat. Kau tetap tidak bisa menemaniku di hari special itu. Aku hanya berharap kau bisa tersenyum dari atas sana untuk keberhasilanku. Dan kau tahu, aku melakukan semuanya untuk membuatmu bangga padaku.
Ini yang kau minta dari aku. kau ingin aku segera menyelesaikannya. sekarang aku telah menyelesaikannya tapi aku sudah terlambat. kau tidak bisa menikmatinya bersamaku.
Aku mungkin bukan kakak yang baik selama ini karena tidak bisa selalu ada saat kau berjuang. Tapi saat ini aku ingin kau bangga bisa memiliki sosok kakak seperti aku yang bisa berjuang untuk membanggakanmu, adikku.
Besar keinginan untuk bisa berbagi bahagia ini bersamamu. Tapi kita sudah terpisah. Aku ingin kau tersenyum melihatku dari atas sana dan berkata “Ini dia kakakku”. Aku tetap menunggu kehadiranmu untuk melihat senyummu itu, toeng. Sampai kapanpun. Tunggu aku di sana. Kelak aku akan memelukmu erat.
Peluk hangat Elisa untukku, Tuhan. Dia adikku yang terbaik.

Loetoeng (27 Januari 1990 - 6 November 2011)

Tulisan ini ada karena aku tidak bisa melepasmu, adikku. Aku tidak bisa melihatmu untuk terakhir kalinya. Bahkan aku tidak ada di sampingmu saat kau benar-benar tersiksa karena sakitmu. Maaf loetoeng, aku bukan kakak yang baik buatmu.

Banyak hal yang ingin kuceritakan padamu, adikku. Banyak perasaan untukmu yang belum tersampaikan. Kau tahu, kita sudah janji mau merayakan natal tahun ini bersama-sama kan? Sekarang aku justru tidak ingin lagi merayakan natal di kota itu. Mungkin menurutmu berlebihan tapi memang seperti itu. Merayakn natal di sana akan mengingatkan perasaan menyesal itu lagi karena aku tidak bisa melihatmu untuk terakhir kalinya.
ELISA HOTMARIA MANURUNG. Lahir 27 Januari 1990. Hanya 4 bulan lebih muda dariku. Tapi dia bisa menempatkan diri sebagai adik sekaligus sahabat yang baik. Dia bisa melengkapi kesepianku sebagai anak tunggal.
Sejak kecil aku terbiasa bermain bersamanya karena rumah kami bersebelahan. Semua tingkah nakal pasti kami lakukan bersama-sama. Mulai dari lompat pagar rumah orang, melempari atap rumah orang, menggertak anak orang, sampai iseng ngerjain orang via telepon rumah. Kami memang tidak terlalu bergabung dengan anak-anak di daerah perumahan kami, karena kami lebih sering bermain berdua, terkadang bertiga dengan adiknya, Darly.
Berhubung umur kami hanya beda 4 bulan, dia membuat aturan. Mulai September sampai Januari, dia bakal memanggilku kakak. Januari sampai September, dia cukup memanggilku dengan Ruth. Tapi gak jarang juga kalau dia lagi ada maunya, menyebutku kakak walaupun bukan sedang antara September dan Januari.
Dia selalu ada saat aku terjatuh dengan masalah di keluargaku. Dia selalu bersedia menemaniku dan berusaha menjadi sosok yang dewasa menguatkan aku. Dia selalu menyisihkan makanannya untuk dibagikan padaku. Menyediakan sarapan saat aku tidur di rumahnya. Mentraktir aku ini-itu supaya aku senang.
Kepindahanku ke Jogja untuk kuliah membuat komunikasi antara kami berdua semakin berkurang. Tepat di saat aku akan berangkat, dia memilih untuk tidak melepasku secara langsung. Dia hanya menitipkan sebuah boneka beruang kecil dan secarik surat yang menceritakan kesedihannya harus pisah dengan aku. Saat itu aku membacanya sambil tersenyum tapi sekarang, mengingatnya saja sudah berhasil membuatku menangis.
Asal muasal nama Loetoeng, yang merupakan panggilan kami satu sama lain, adalah saat liburan keluarga besar BRI ke Tuk-tuk, Samosir. Di sepanjang jalan di Parapat ada banyak monyet. Spontan si Among bilang “kalian berdua mirip kayak lutung itu. Kalau udah makan, pasti bisa tenang”. Dari situ mulailah panggilan loetoeng mulai muncul. Bukan hanya kami berdua yang mengakui panggilan itu. Kedua orang tua kami bahkan adik2nya juga ikut-ikutan memanggil kami loetoeng. Memori yang manis darinya.
Di kepulanganku tahun 2009, aku mengunjunginya ke asrama Sari Mutiara Medan dan dia meminta sebuah baju dariku. Itulah hadiah terakhirku untuknya.
Selama terpisah jarak, ada satu hal yang selalu ditanyakan setiap kali dia telepon atau sms, bahkan di saat dia sakit tetap bertanya soal cowok. Hal terakhir yang dia katakan “Kalau sampai natal ini kau gak punya pacar, kau kujodohkan sama si Hendra”. Dan sekarang itu hanya tinggal kata-kata karena ternyata 2 bulan sebelum natal dia sudah meninggalkanku.
Aku selalu terlambat menerima kabar tentangnya. Saat dia koma karena lupus selama 20 hari di Medan desember tahun lalu, aku pun tahu beberapa bulan kemudian. Selalu saja aku tidak ada di saat dia butuh support. Perkembangannya maju pesat dan dia sudah bisa kembali kuliah walaupun harus extra keras mengejar ketinggalannya. April 2011 aku menyempatkan pulang karena Inong sakit. Setelah setahun lebih, aku bertemu lagi dengan elisa. Pagi itu aku memeluknya erat. Benar-benar merindukannya.
Kami merayakan paskah bersama di HKBP bersama keluarganya. Setelah itu aku ziarah ke motung bersama keluarganya dan menghabiskan waktu di Ajibata, Danau Toba. Hari paskah aku habiskan bersama dengan elisa, bukan dengan Among dan Inong. Seolah mengerti, mereka langsung saja mengijinkanku pergi bersama elisa. Esok malamnya, kami menerjang hujan naik motor demi jagung bakar favoritenya di depan RSU. Tidak terlihat kalau ditubuhnya sedang ada penyakit yang kapan saja bisa kambuh. Bukan Lupus yang merenggutnya tapi penyakit lain sebagai efek pengobatannya.
Tidak pernah sekalipun dia menunjukkan kesedihannya padaku. Dia bahkan masih sempat wisuda menyelesaikan study-nya di Akbid untuk membahagiakan kedua orang tuanya. Di saat sakitnya dia pun sempat bercanda. Malam itu si Inong menelpon tepat di saat berkunjung ke rumah elisa. “Toeng, perutku sekarang besar loh. Udah kayak orang hamil. Aku udah kayak Maria, hamil karena Yesus”
Saat itu aku hanya bisa membalas dengan candaan walaupun hatiku sedih mendengarnya.
Seminggu kemudia dia berangkat ke Penang. Entah bagaimana caranya, karena kata Inong untuk duduk aja dia sudah merasa sesak. Lebih dari seminggu dia di sana. Aku hanya bisa bertanya ke darly, adiknya, tentang perkembangan elisa. Dokter memvonisnya gagal ginjal dan sudah menyerah. Air mataku menetes kembali mendengar kabar itu.  Dengan robin, aku menceritakan ketidakrelaanku jika sesuatu terjadi padanya. Aku tidak siap untuk semua itu.
Minggu, 6 November 2011.
Minggu pagi ini aku ibadah gereja bersama Robin. Setelah ibadah, kami menyempatkan sarapan di Lontong Sumatera. Langit pagi itu mendung dan akhirnya hujan. Suasanan hatiku benar-benar tidak enak. Tepat di saat makanan dihidangkan, aku mendapatkan SMS dari astrid.
“Kak, kakak udah tau kak elisa meninggal”
Perasaanku campur aduk. Aku menangis tapi tidak ada air mata yang jatuh. Tidak percaya. Itu yang aku rasakan. Kecewa, itu yang aku rasakan. Aku marah untuk semuanya. Bukan sekarang seharusnya. Kami bahkan sudah berjanji untuk merayakan natal bersama. Hujan semakin deras. Mungkin itu mewakili hatiku yang menangis.
10.45 WIB dia pergi kembali ke Allah. Dan memang aku tidak bisa merelakannya. Aku ingin segera pulang ke sana tapi aku tidak bisa. Saat itu aku sedang Ujian Mid dan kondisi benar-benar tidak memungkinkan. Aku merasa sangat bersalah.
Aku terduduk lemas di kos dengan tangis yang tidak berhenti. Aku menghadapinya sendiri di sini. Elisa bahkan tidak mampir untuk pamit denganku. Kenapa dia tidak mengucapkan apapun sebelum pergi.
Aku bukan termasuk orang yang mudah menangis. Tapi jika tentang dia, air mata ini bisa turun dengan mudahnya. Mengingatnya membuatku merasa bersalah, merasa kosong dan kehilangan, merasa bodoh, dan merasa tidak rela.
Seminggu aku seperti orang linglung. Berharap dia datang menemuiku tapi sampai sekarang dia tidak muncul. Aku masih menunggunya untuk datang. Seorang guru bimbingan kami di SSC, pak Monang, bermimpi ada yang mengantarkan sebuah peti mati ke sekolah. Aku mengetahui cerita ini dari bang Mars. Kenapa aku tidak punya firasat apa-apa?
Dia dan aku mungkin tidak punya hubungan darah tapi hubungan ini jauh lebih dalam dari hubungan darah. Saat aku mengetik semua ini, aku merasakan kerinduan tentangnya. Lagu Dear God mengiringi setiap ketikan jariku untuknya.

Selamat jalan, adikku, sahabatku, temanku, loetoengku..

Surat yang Tak Tersampaikan

Dear Pahlawan Wanitaku yang Paling Cantik,                 Aku bersenandung bersama isak pagi ini                 Terulang memori...