Apa yang kalian rasakan saat mendengar lagu ini?
Merasa sedih? Galau? Lebay? Bodoh? Saat mendengar lagu inilah saya merasa
menyerah dengan keadaan. Sangat tidak sesuai dengan lirik lagu ini, bukan? Ya,
saya menyerah. Saya menyerah untuk mencintai seseorang yang sudah seharusnya dan
wajib saya cintai. Saya tidak punya alasan lagi untuk mencintai sosok tersebut.
Tidak ada satu pun dari lirik tersebut yang belum
saya lakukan, tidak ada niat untuk menyombongkan diri. Akan ada titik di saat
seseorang akan menyerah untuk mencintai.
Katakan saja cinta itu buta. Katakan saja cinta itu
murni. Tapi tidak begitu dengan yang saya terima, mungkin karena sosok itu
tidak pernah mencintai saya. Tidak ada gunanya saya memaksakan kehendak agar
orang tersebut mencintai saya, bukan?
Saya mencintai seseorang yang tidak pernah
memberikan apapun pada saya di saat sosok tersebut seharusnya memberikan cinta
yang melimpah. Saya mencintai seseorang yang seharusnya menjadi pahlawan dalam
hidup saya. Saya mencintai seseorang yang seharusnya mengajarkans saya arti
hidup dan bagaimana menjalani hidup. Di titik ini saya merasa cukup untuk
menggunakan kata seharusnya.
“Jangan terlalu berharap kalau tidak ingin
dikecewakan”. Sepertinya saya salah karena meletakkan harapan yang tinggi. Lagi!
Saya ditegur karena berpengharapan pada manusia, bukan Tuhan. Hanya Tuhan yang
tahu seberapa besar pengharapan saya pada sosok itu sedari awal cerita ini ada,
bahkan berharap akan perubahan yang saat ini sudah sia-sia.
Ya! Saya menyerah. Saya menyerah untuk menghapus air
matanya, menyerah untuk membelanya, menyerah untuk memeluknya, menyerah untuk
berkorban baginya, menyerah untuk membuatnya bahagia, menyerah untuk memenuhi
mimpinya. Saya menyerah untuk membuat sosok tersebut merasakan cinta dari saya.
Perasaan bersalah muncul dengan sangat jelas saat
ini. Perasaan bersalah karena tidak dapat memenuhi keinginan terakhirnya,
satu-satunya orang yang menghubungkan saya dengan sosok itu. Saya menyerah
untuk menggunakan perasaan.
Semoga bukan penyesalan tapi kebahagiaan yang
menjadi buah dari keputusan ini, bukan hanya bagi saya tapi juga untuk sosok
tersebut – sosok yang sempat saya cintai – setidaknya untuk saat ini, saat
logika kembali berjalan meninggalkan perasaan.
Maaf, saya menyerah.
Ruth Hutapea
19 Februari 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar