Senin, 13 November 2017

PRIA DAN AYAH





Ketika seorang Pria menyumbangkan sperma-nya dengan alasan cinta atau apapun dan proses pembuahannya berhasil, segera pria tersebut akan menjadi ayah secara biologis. Mudah bukan?


Ketika sang anak memulai tangisan pertamanya, saat itulah sang pria akan memulai perannya sebagai ayah yang sebenarnya, bukan hanya ayah biologis. Apa bedanya?


Ayah biologis adalah pendonor sperma kepada sel telur untuk proses pembuahan dalam pembentukan janin. Yang artinya, semua pria dapat menjadi seorang ayah biologis dengan sangat mudah, cukup dengan keinginan.


Ayah adalah sosok pria yang berperan dengan kasih dalam kehidupan anak. Sederhana, bukan? Seorang ayah biologis belum tentu dapat menjadi sosok ayah. Sosok ayah tidak perlu berasal dari dan menjadi ayah biologis.


Ayah zaman now, bahkan zaman old sudah ada hanya saja belum terkuak melebar akibat cepatnya penyebaran informasi via media social dan internet, kebanyakan beranggapan menjadi ayah adalah dengan mendonorkan spermanya. Hello, Bapak?? Pernah dengar BANK SPERMA? Mereka beranggapan dengan mendonorkan sperma, mereka akan otomatis menjadi ayah dan berhak mendapatkan penghargaan dan penghormatan. Lalu bagaimana dengan kewajibannya?


Seperti penjelasan sebelumnya, Ayah bertindak dengan kasih dalam kehidupan anak. Dengan kasih, sosoknya akan merasa bertanggung jawab untuk mendidik, membersarkan, mendukung, mengarahkan, hingga akhirnya melepas untuk berjalan sendiri.


Lalu kemana tanggung jawab saat fokus dengan hak? Itulah yang dinamakan dengan keegoisan, yang menjadi sifat dasar manusia.


Saat sosok yang seharusnya menjadi panutan dan cinta pertama putrinya berubah menjadi sosok yang paling ditakuti akan muncul dalam bentuk lain dalam hidupnya, bentuk yang disebut sebagai pasangan, saat itulah peran Ayah tidak ada, hanya tertinggal Ayah biologis.


Selamat Hari Ayah untuk para Ayah di luar sana!


Untuk para Ayah Biologis, semoga selamat!


Ruth Hutapea
Nov 13, 2017





Jumat, 11 Agustus 2017

MEMAAFKAN DAN MELUPAKAN



 
Maaf – termasuk dalam tiga kalimat ajaib dalam artikel jauh tahun-tahun lalu, silahkan scroll kalau berminat. Kata ajaib itu ditilik dari sudut pandang si peminta maaf. Lalu bagaimana dengan yang dimintai maaf?
 
“Eh, maaf ya saya gak sengaja.”

“Oh, iya. Gapapa kok.”


Lalu bagaimana dengan kesakitan yang mengakibatkan kepahitan, bahkan dari orang terdekat sekalipun? 


“Tuhan saja memaafkan, apalah kita ini sebagai manusia?”


Sebenarnya hati manusia itu lemah. Ketika ada yang meminta maaf dengan tulus, dengan senyuman dia akan memaafkan. Tapi, ketika hati tersakiti, pesan akan dikirimkan ke otak untuk mengingat rasa sakit tersebut. Hati mungkin memaafkan, tapi otak tidak akan melupakan. Begitulah cara kerjanya.


“Saya memaafkan tapi tidak melupakan”


  Jadi, ketika terjadi situasi meminta maaf – memaafkan, mana yang harus lebih disoroti?



“Meminta maaf itu tidak mudah, harus menurunkan gengsi.”

Begitulah kata para tetua di luar sana.


Jika masih melibatkan gengsi, walaupun orang tersebut mengaku salah, permintaan maaf itu tidak tulus. Kemungkinan untuk terulang lagi? Sangat besar. Saran saya, tidak usah meminta maaf. Sebaiknya segera ambil langkah seribu dari orang yang telah Anda sakiti. Dengan tidak melihat wajah Anda lagi, itu akan membantu mengurangi kepahitan orang tersebut, walaupun sedikit.

“Maafkanlah. Kamu pun pasti pernah berbuat salah ke orang lain”

Lagi, begitulah kata para tetua di luar sana.


Logikanya, jika kita sudah tahu rasa sakitnya seperti apa, apakah kita akan melakukan hal yang sama kepada orang lain? Logika akan menjawab: TIDAK. Lalu bagaimana dengan hati? Dalamnya hati siapa yang tahu, bukan?




Lalu bagaimana dengan yang tidak meminta maaf sama sekali? Jika kesakitan yang diberikan membuahkan kepahitan, buang jauh dia dari kehidupan Anda. Anda berhak untuk bahagia.



Dalam tulisan kali ini, saya banyak memakai kata jika dan jadi. Ini menunjukkan bahwa meminta maaf dan memaafkan adalah aksi timbal-balik, dimana aksi akan mendapatkan reaksi. Ah! Saya jadi merindukan pelajaran fisika saat SMA. Apa kabar guru-guru saya dulu?



Berfikirlah sebelum bertindak.

Jika tidak ingin disakiti, jangan menyakiti.

Jika tidak ingin meminta maaf, jangan menyakiti.

Jika tidak ingin diabaikan, jangan menyakiti.

Jika tidak ingin terbuang, jangan menyakiti.


Selalu mulai dari diri sendiri, jangan selalu melihat ke arah orang lain. Lebih mudah mengontrol diri sendiri dari pada mengontrol apa yang orang lain pikirkan dan rasakan.

“Kurang-kurangin drama dalam hidupmu!”

11 Agustus 2017,

Ruth Hutapea

Surat yang Tak Tersampaikan

Dear Pahlawan Wanitaku yang Paling Cantik,                 Aku bersenandung bersama isak pagi ini                 Terulang memori...