Jumat, 07 Agustus 2015

It's Great to Have a Normal Night Then a Normal Morning!


Hari ini saya belajar bersyukur lagi. Honestly, saya belakangan mulai lupa bagaimana caranya bersyukur dan berpikir positif. Hidup ini berat, kawan! Tapi pagi ini saya merasa benar-benar bersyukur. Bersyukur karena sakit.

Agak membingungkan memang, lagi sakit kok malah disyukurin? Saya bersyukur bukan karena saya mendapatkan perhatian lebih waktu sakit, seperti drama, sinetron, atau novel kebanyakan. Saya bersyukur karena bisa merasakan bagaimana melewati malam yang normal dan pagi yang normal.

Sudah beberapa bulan terakhir insomnia saya kambuh. Sebenarnya, sejak SMA saya sudah insomnia (note: saya tidak mau menggunakan kata 'mengidap'. Rasanya menyedihkan kalau pakai kata itu). Rutinitasnya ya tidur subuh atau pagi, bangun siang atau menjelang sore, bahkan bisa tidak tidur semalaman sampai malam berikutnya. Kalau dihitung, saya pernah tidur tidak lebih dari 30 jam selama dua minggu. Jangan tanya apa penyebabnya.

Tubuh saya menyerah. Dua hari yang lalu saya terserang flu berat yang timbul tenggelam dan saya berasa kepala batu dalam arti harafiah. Hebatnya lagi lidah saya menolak kopi, itu yang paling menyedihkan. Biasanya kalau saya minum kopi, paling tidak saya akan bisa tidur selama 6 jam nantinya.

Puncaknya tadi malam. Thank God masih ada si Mamet (boleh baca Truly Bestriend-Soulmate untuk tahu siapa itu si Mamet) jadi makan malam terselamatkan berhubung saya lagi malas masak. Nggelesot ke kamar Kartika buat minta obat, berharap ini obat ampuh sekali minum saja. Mungkin juga karena efek ketawa-ketiwi setelah bertelpon-ria dengan Christin, hatinya lebih ringan. Sebelum doa tidur, lagu pilihan saya malah 'Hati yang Gembira adalah Obat'. Manjur! Gak lama setelah itu saya tertidur. Puji Tuhan!

Pukul 04.19 (Masih ingat pake banget) saya terbangun, dalam keadaan segar. Rutinitas saya, berhubung masih jobless, mantengin wattpad, nyalain laptop buat browsing lowongan, dan berkunjung ke kamar Chintya. Betewe, saya bakalan ditinggal Jeunk Tya selama weekend ke Bromo. I envy you, Jeunk!

Senang rasanya bisa menikmati berita pagi di TV, dengar suara anak kosan mondar-mandir di luar, update di Path pagi-pagi dengan keadaan SUDAH bagun tidur, nonton film Bollywood Hum Saath Saath Hain karena lagi kangen suasana keluarga (FIVE STARS dari saya), dan bisa nge-blog dengan lancar pagi ini.

Apa yang paling bikin geli? Saya excited karena bisa merasakan lapar di pagi hari. Bikin pengen masak ini-itu. Tapi apa daya, kepala masih berat jadi malas gerak ke dapur. Sementara ini, air putih dan biskuit dulu yang jadi target.

Bahagia itu sederhana.
Sesederhana bisa tidur malam.
Sesederhana bisa bangun subuh.
Sesederhana bisa lapar di pagi hari.

I got my good mood back! Let's have a good coffee and a yummy food today, fellas!!!

Ruth Hutapea
7 Agustus 2015

Kamis, 19 Februari 2015

HARUSKAH AKU MENYERAH ? (Make You Feel My Love - Glee Cast)



Apa yang kalian rasakan saat mendengar lagu ini? Merasa sedih? Galau? Lebay? Bodoh? Saat mendengar lagu inilah saya merasa menyerah dengan keadaan. Sangat tidak sesuai dengan lirik lagu ini, bukan? Ya, saya menyerah. Saya menyerah untuk mencintai seseorang yang sudah seharusnya dan wajib saya cintai. Saya tidak punya alasan lagi untuk mencintai sosok tersebut.
Tidak ada satu pun dari lirik tersebut yang belum saya lakukan, tidak ada niat untuk menyombongkan diri. Akan ada titik di saat seseorang akan menyerah untuk mencintai.
Katakan saja cinta itu buta. Katakan saja cinta itu murni. Tapi tidak begitu dengan yang saya terima, mungkin karena sosok itu tidak pernah mencintai saya. Tidak ada gunanya saya memaksakan kehendak agar orang tersebut mencintai saya, bukan?
Saya mencintai seseorang yang tidak pernah memberikan apapun pada saya di saat sosok tersebut seharusnya memberikan cinta yang melimpah. Saya mencintai seseorang yang seharusnya menjadi pahlawan dalam hidup saya. Saya mencintai seseorang yang seharusnya mengajarkans saya arti hidup dan bagaimana menjalani hidup. Di titik ini saya merasa cukup untuk menggunakan kata seharusnya.
“Jangan terlalu berharap kalau tidak ingin dikecewakan”. Sepertinya saya salah karena meletakkan harapan yang tinggi. Lagi! Saya ditegur karena berpengharapan pada manusia, bukan Tuhan. Hanya Tuhan yang tahu seberapa besar pengharapan saya pada sosok itu sedari awal cerita ini ada, bahkan berharap akan perubahan yang saat ini sudah sia-sia.
Ya! Saya menyerah. Saya menyerah untuk menghapus air matanya, menyerah untuk membelanya, menyerah untuk memeluknya, menyerah untuk berkorban baginya, menyerah untuk membuatnya bahagia, menyerah untuk memenuhi mimpinya. Saya menyerah untuk membuat sosok tersebut merasakan cinta dari saya.
Perasaan bersalah muncul dengan sangat jelas saat ini. Perasaan bersalah karena tidak dapat memenuhi keinginan terakhirnya, satu-satunya orang yang menghubungkan saya dengan sosok itu. Saya menyerah untuk menggunakan perasaan.
Semoga bukan penyesalan tapi kebahagiaan yang menjadi buah dari keputusan ini, bukan hanya bagi saya tapi juga untuk sosok tersebut – sosok yang sempat saya cintai – setidaknya untuk saat ini, saat logika kembali berjalan meninggalkan perasaan.
Maaf, saya menyerah.
Ruth Hutapea
19 Februari 2015

Surat yang Tak Tersampaikan

Dear Pahlawan Wanitaku yang Paling Cantik,                 Aku bersenandung bersama isak pagi ini                 Terulang memori...