" Cerpen yang ini ditulis waktu kelas 2 SMA. nyolong waktu pelajaran kewarganegaraan karena tiba-tiba disuruh ikut lomba. Kalau soal bahasa tulisan sih, ..... *silent* Enjoy it lah yaaaa..."
Bayang Fatal
By : Ruth Hutapea
Hujan
kecil membasahi taman asri halaman sebuah rumah sakit pagi itu. Dedaunan tampak
ikut bergoyang seirama dengan jatuhnya rintik hujan. Seorang gadis berseragam
putih abu-abu berjalan di koridor menatap kosong ke depan. Tidak tahu apa yang
ada dipikirannya. Ia berhenti di depan sebuah pintu berwarna putih sejenak
seperti sedang memutuskan untuk tetap melanjutkan niatnya atau tidak, lalu
mengalihkan pandangannya ke papan bertuliskan nama seorang psikolog. Untuk
membulatkan niatnya, ia menutup mata dan menghela nafas panjang.
“Permisi,
Tante!” ucapnya setelah mengetuk pintu.
“Masuk!
Rhea? Tumben kamu ke sini?” jawab wanita separuh baya itu dengan wajah terkejut
yang kemudian berganti dengan senyuman tulus.
Rhea
hanya menjawabnya dengan senyuman.
“Ada
apa kamu ke sini, Rhe?” Rhea hanya diam.
“Kamu
gak sekolah?” Rhea menjawab dengan gelengan. Wanita itu mempersilahkan Rhea
untuk duduk.
“Rhea,
kamu ada masalah? Apa ada hubungannya dengan orang tua kamu?” tanya wanita itu
lagi.
Diam
menyelimuti ruangan. Pertanyaan itu membuat wajah Rhea semakin sendu.
Suara
barang pecah terdengar tepat saat Rhea membuka pintu kamarnya. Ia terdiam
mendengar keributan yang sama sekali lagi. Air matanya turun dalam diam dan rasa
hausnya hilang seketika. Ia masuk kembali ke dalam kamarnya, mencoba tidur
seolah tidak terjadi apa-apa.
Bayangan
itu kembali muncul, kepala Rhea terasa berputar. Semua pelajaran di sekolahnya
seolah berputar di kepalanya, mulai dari rumus-rumus hingga ucapan-ucapan dari
gurunya kemudian berganti menjadi pertengkaran orang tuanya. Keringat mulai
mengucur dari keningnya. Rhea terbangun dengan nafas berkejar-kejaran.
Kepalanya terasa semakin sakit. Ia mencari obat yang diberikan tantenya tadi
pagi dan meminumnya. Malam ini ia benar-benar tidak akan bisa tidur.
***
Bel sekolah berbunyi pertanda
sekolah telah usai hari ini. Dengan enggan, Rhea memasukkan semua buku-bukunya
ke dalam tas. Belakangan ini Rhea semakin tidak bersemangat untuk pulang ke
rumah. Ia bosan dengan keadaan rumah yang membuatnya tidak nyaman.
“Rhe, kita ke toko buku yuk. Ada
novel baru, lho.” Ajak Simon, teman Rhea.
“Maaf, Mon. Aku lagi gak mood
kemana-mana.” Tolak Rhea.
“Trus kamu mau ke mana? Apa mau aku
anterin pulang aja?” tawar Simon lagi.
“Gak
usah, Mon. Thank’s! Aku bisa sendiri kok.” Rhea berjalan meninggalkan Simon
yang masih kecewa karena ditolak Rhea.
Dari depan sekolahnya Rhea naik
taksi ke tempat yang belakangan ini mulai rutin dikunjunginya. Taksi yang ia
tumpangi berhenti tepat di sebuah rumah sakit.
“Tante,
semalam kepala Rhea sakit lagi. Rhea udah minum obat dari tante tapi obat itu
Cuma bisa menengkan saja, bukan menyembuhkan.” Keluh Rhea.
“Memang.
Kita belum punya obat untuk menyembuhkan sakit yang kamu rasakan setiap kamu
tertidur karena itu bukan penyakit seperti biasanya. Untuk menyembuhkannya,
hanya kamu sendiri yang bisa. Yah, dengan mengontrol pikiran kamu untuk bisa
lebih tenang dan tidak terlalu memikirkan semua yang ada di sekitar kamu.”
“Tapi
Rhea udah capek, Tante. Rhea udah gak tahu lagi harus gimana.”
“Kamu
pasti bisa, Rhea. Apapun yang terjadi nanti, kamu harus yakin kalau semua itu
adalah yang terbaik.”
Rhea
menatap tantenya dengan putus asa.
***
Malam
ini ada yang berbeda di rumah Rhea.
Tidak ada bentakan atau suara barang pecah yang terdengar. Ia berjalan ke ruang
tamu untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Di ruang tamu terlihat ayahnya
sedang duduk mengutak-atik laptopnya sedangkan ibunya sibuk membolak-balikkan
majalahnya. Rhea merasa canggung dengan keadaan yang seperti ini, tapi ia
merasa bahagia karena kemungkinan orang tuanya untuk berbaikan semakin besar.
Ia akan merasakan keluarga yang utuh lagi.
“Ma,
Pa? Kalian?” tanya Rhea dengan ragu.
Ayahnya
menutup laptop dan ibunya meletakkan majalah yang dibacanya.
“Iya,
sayang. Papa sama Mama udah capek berantem terus.” Jelas papanya, senyum mulai
tersungging di wajah Rhea.
“Mama
sama Papa sudah memutuskan. Kami akan menyudahi semuanya.” tambah mamanya,
kening Rhea mulai berkerut.
“Maksudnya?”
tanya Rhea.
“Sayang,
papa dan mama memutuskan untuk pisah. Besok sidangnya dimulai. Mungkin ini
jalan yang terbaik.”
“Gak!
Rhea gak mau papa sama mama pisah. Rhea butuh papa dan mama. Bukan salah
satunya.” Rhea berteriak melepaskan kesalnya selama ini.
“Sayang,
kamu harus mengerti posisi mama dan papa.”bujuk mamanya.
“Tapi
kapan kalian ngerti keadaan Rhea? Apa kalian gak pernah menganggap Rhea ada?
Kalian egois!”
“RHEA!”bentak
papanya.
Rhea
gak perduli lagi dengan panggilan orang tuanya. Ia tetap berlari ke luar rumah.
Ia berlari tanpa tahu ke mana tujuannya. Tanpa ia sadari kakinya membawanya ke
sebuah rumah berbentuk kos-kosan yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Sebuah
mobil merah berhenti tepat di sisinya. Pengemudi mobil itu ke luar menghampiri
Rhea.
“Rhea?
Kamu kok bisa ada di sini?” tanya Simon.
Tanpa
berbicara, Rhea memeluk simon dan tangisnya semakin menjadi. Simon mengajaknya
masuk ke kosannya. Penghuni kosan yang mendengar tangisan Rhea keluar untuk
melihat apa yang terjadi. Simon memberi isyarat kepada mereka melalui gerak bibir
“gak apa-apa.”
Sampai
di kamar, simon mendudukkan Rhea di atas tempat tidur dan memberikan segelas
air putih agar Rhea bisa lebih tenang. Ia tidak memaksa Rhea untuk segera
menceritakan apa yang terjadi. Ia hanya menenangkannya sampai Rhea tertidur, sedangkan
ia tidur di sofa yang ada di kamarnya.
Rhea
melihat dirinya sedang bermain komedi putar bersama orang tuanya. Mereka
terlihat sangat bahagia. Senyum Rhea pudar seketika berganti rumus-rumus dan
semua pelajarannya, berganti lagi menjadi ucapan mama dan papanya tadi malam.
Semua berputar semakin cepat. Rhea merasakan kepalanya semakin sakit. Ia
terbangun dan mencari obatnya. Lalu ia teringat oabtnya tertinggal di kamar. Ia
semakin panik.
Simon
yang mendengar suara berisik menjadi terbangun. Ia melihat Rhea sudah terduduk
di sudut tempat tidur sambil memegangi kepalanya. Simon segera memeluk Rhea dan
menenangkannya. Rhea merasa sangat kesakitan. Simon memberikannya segelas air
putih. Menjelang pagi, Rhea sudah mulai tenang dan bisa tidur.
Simon
memandangi Rhea dengan perasaan sedih. Apa yang sebenarnya terjadi dengan gadis
ceria yang ia sayangi selama ini.
***
Hari
ini hari minggu, hari kelima Rhea menginap di kosan Simon. Ia mengajak Rhea
untuk lari pagi di sekitar kompleks. Sejenak Rhea bisa melupakan apa yang
terjadi dengan dirinya dan keluarganya. Ia terlihat bahagia dan lepas. Tanpa
terasa mereka sudah berdiri di depan rumah Rhea bersamaan dengan sebuah mobil
hitam keluar dari rumahnya, yang ia kenal sebagai mobil tantenya.
Melihat
Rhea, wanita paruh baya itu keluar dan menghampirinya.
“Rhea,
kamu terlihat lebih sehat.” Ujar wanita itu sambil menyentuh pipi Rhea.
Tanpa
menjawab Rhea memeluk tantenya.
“Kamu
ke mana saja? Orang tua kamu bingung harus mencari kamu ke mana lagi.” Wanita
itu mengalihkan pandangannya ke Simon.
“Tante,
kenalkan. Ini teman sekolah Rhea. Selama ini Rhea tinggal di kosan Simon.”
“Simon,
tante.” Mereka berjabat tangan. Ia menatap Simon seolah meneliti setiap inch
tubuh Simon.
“Simon
ini orang baik-baik kok, Tante. Selama ini dia yang menjaga Rhea.”
“Baguslah!”
Rhea dan Simon tersenyum saling tatap.
“Rhea,
kamu kenapa gak datang sidang kemarin?”
“Kalau
Rhea datang, apa semuanya bisa balik kayak dulu lagi, Tante?” Tantenya hanya
diam.
***
Hari
ini sidang kedua perceraian orang tua Rhea. Pulang sekolah Rhea menghampiri
Simon.
“Simon,
kamu mau nemenin aku gak hari ini? Tanya Rhea.
“Ke
mana? Ke persidangan orang tua kamu?” Rhea menggeleng.
“Ke
rumah sakit.” Simon tidak bertanya lagi.
Mereka
berjalan ke arah di mana mobil Simon diparkir. Sepanjang jalan, mereka hanya
diam. Di depan rumah sakit, Simon menahan tangan Rhea untuk tidak turun dari
mobil.
“Rhe,
ada yang mau aku omongin ke kamu.”
“Kenapa,
Mon?”
“Selama
ini, aku.. ke kamu..”
“Aku
tau, Mon. Tapi maaf, aku bener-bener gak bisa. Aku masih takut untuk
berkomitmen sama seseorang sekalipun aku juga sayang sama kamu.”
“Tapi
aku gak bakal nyakitin kamu, Rhe.”
“Aku
tahu kamu cowok yang baik dan bertanggung jawab. Selama aku tinggal di kosan
kamu, kamu sama sekali gak pernah mencuri kesempatan, Mon. Tapi justru itu, aku
takut kalau aku yang bakal nyakiin kamu nanti.”
“Rhea…”
“Kita
turun, yuk!” Sela Rhea.
Sepanjang
koridor, Rhea menggandeng tangan Simon seolah tidak ingin melepaskannya.
“Tante!”
“Rhea,
Simon. Ayo duduk!”
Simon
memilih untuk duduk di sofa dan membiarkan Rhea untuk lebih leluasa
menceritakan apa yang dia rasakan kepada tantenya.
“Tante,
udah dua hari ini Rhea gak ngerasain sakit kepala lagi. Rhea bisa tidur dengan
tenang.”
“Apa
ini karena Simon?”
“Rhea
gak tahu tante. Simon udah baik banget sama Rhea. Kita berdua sama-sama sadar
dengan perasaan kita, tapi Rhea belum berani mengambil keputusan, tante.”
“Ya,
sudah. Biar waktu yang menjawabnya nanti. Oh iya, Rhea. Kamu tadi gak datang ke
persidangan orang tua kamu, ya?”
Rhea
menggeleng. “Gak, Tante. Rhea gak mau.”
“Besok
lusa sidang putusan perceraiannya, kamu datang kan?” Rhea diam.
“Gak
tahu, Tante. Lihat besok saja.”
***
Malam
ini Rhea kembali merasakan sakit di kepalanya. Semua soelah menyerangnya.
Rumus-rumus, semua pelajaran, pertengkaran orang tuanya, pernyataan cinta
Simon, perlakuan baik Simon, ucapan tantenya, dan ketukan palu hakim. Ia
terbangun dan kepalanya semakin sakit. Ia ingin berteriak tapi keinginnanya itu
terkalahkan oleh rasa sakitnya. Ia menatap Simon dengan tatapan meminta tolong,
tapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Ia merogoh tasnya mencari obat yang
deiberikan tantenya kemarin. Segera ia meminum 2 tablet dan mencoba menenangkan
diri. Perlahan rasa sakit itu hilang dan Rhea mulai bisa tidur.
Pagi
ini Rhea ragu menetukan apakah dia harus pergi atau tidak ke persidangan. Pulang
sekolah, Rhea langsung ke kelas Simon.
“Mon,
anterin aku yuk.”
“Ke
rumah sakit?”
“Pengadilan.”
Rhea
menarik Simon ke parkiran sehingga menyita perhatian teman-teman sekolahnya.
Sepanjang jalan rhea terlihat gelisah. Sesekali ia memegang keningnya dan
wajahnya terlihat pucat.
“Kamu
gak apa-apa, Rhe?” tanya Simon khawatir.
Rhea
menggeleng.
***
Suasana
persidangan yang ricuh menjadi senyap ketika hakim mengetuk palu pertanda
sidang akan dimulai. Tampak kedua orang tua Rhea duduk bersisian di depan hakim
dan tante Rhea duduk tepat dibelakang mamanya.
Rhea
semakin gelisah saat tiba di depan pengadilan negri. Ia menatap gedung itu dan
simon bergantia. Simon mengangguk dan tersenyum untuk meyakinkan Rhea. Simon
turun dan membukakan pintu untuk Rhea. Rhea turun dengan ragu dan menggenggam
tangan Simon. Mereka berjalan menuju sebuah ruangan yang satu-satunya sedang
diapakai untuk persidangan.
Akhirnya
mereka tiba di pintu ruangan itu. Genggaman Rhea melemah saat mendengar ketukan
palu hakim. Pandangannya menjadi buram dan semua kembali berputar di kepala
Rhea. Ia terjatuh dan kepalanya terbentur ke siku pintu. Pandangan Rhea menjadi
gelap dan senyap.
***
Simon
tampak sedang mendorong kursi roda di koridor rumah sakit yang biasanya ia
datangi dengan Rhea. Kedua orang tua Rhea menatap kursi roda itu dengan sedih.
Penyesalan tampak dari wajah mereka. Di kursi roda itu, Rhea duduk dalam diam.
Tatapannya sedih dan kosong.
Dokter
mendiagnosa akibat benturan dan sakit kepala yang dirasakan Rhea tiga bulan
terakhir mengakibatkan ada gumpalan darah di otaknya sehingga otaknya tidak
dapat berfungsi dengan baik. Ia membutuhkan terapi yang lebih intensif untuk
sembuh.
Tantenya
menjelaskan kepada orang tua Rhea apa yang selama ini dirasakan oleh Rhea. Rhea
hanya butuh kasih sayang dan perhatian dari orang tuanya, bukan tekanan seperti
yang ia rasakan selama ini.
Simon
tampak mengajak Rhea berbicara di taman asri halaman rumah sakit. Kali ini
hanya deru angin yang mengiringi setiap nafas Rhea yang tidak tahu sampai kapan
akan bertahan seperti ini.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar