Kamis, 14 Februari 2013

Orange Juice Love



" Cerpen ini ada sekitar 4 tahun yang lalu, zaman-zaman masih labil dalam pemikiran dan bahasa. Bahkan saya masih suka senyum-senyum sendiri membacanya. Cerpen ini sengaja tidak saya edit untuk mengingat seperti apa jenis tulisan saya dulu. Selamat membaca sambil tersenyum :) "
Orange Juice Love
By : Ruth Hutapea
Minggu sore ini, langit hitam. Perlahan air mulai jatuh membasahi halaman yang penuh rumput, semakin deras. Tidak tahu kapan akan berhenti, aku mencoba mencari kesibukan di kamar ditemani laptop kesayanganku. Brown namanya. Aku mulai membuka aplikasinya satu persatu. Tidak ada yang menarik. Aku menjatuhkan tubuhku ke tempat tidur dengan membiarkan brown tetap menyala di atas meja.
Mataku mulai terpejam saat ponsel kecilku yang kuberi nama pink sesuai dengan warnanya, walaupun aku benci pink tapi ini hadiah dari sepupuku. Doni! Nama itu muncul di layar ponselku.
“Tumben ni anak nelfon.” Pikirku.
Dengan enggan tapi penasaran aku menjawab telpon dari Doni.
“Kenapa, Don? Tumben lo nelfon gue.”
“Gue butuh bantuan lo, Sha.”
“Rey!”
“Iya, Reysha.”
“Bantuan apa?”
“Besok gue jelasin ke elo. Thanks ya, Rey.”
Telpon diputus. Aku belum menjawab ‘ya’ tetapi doni sudah mengiyakan jawaban Rey.
Suara hujan kembali membawaku ke alam mimpi.
***

 
Aku seorang mahasiswi tingkat 2 Fakultas teknik kimia salah satu perguruan tinggi negri di Yogyakarta. Hari-hariku kebanyakan dihabiskan di kampus. Bukan karena aku mahasiswi yang benar-benar rajin, tapi karena aku selalu disibukkan dengan pasien-pasienku, seperti hari ini.
Aku berjalan santai memasuki area kampus dengan cueknya. Pikiranku sibuk berpikir tentang apa yang akan aku lakukan hari ini. Kuliah dari pagi sampai siang dan melayani pasien-pasienku. Tanpa kusadari senyum melebar di bibirku mengingat kata pasien, istilah yang kuberikan kepada orang yang datang kepadaku untuk berkonsultasi.
Hari ini ada berapa ya? Aku membatin.
Akhirnya aku sampai juga di kelas. Untung saja keseimbanganku lumayan baik, walaupun tidak bisa mengendarai sepeda, saat ada yang berteriak memanggil namaku dari belakang. Hampir saja aku terjatuh saat menaiki anak tangga di depan kelas mendengar suara Doni yang menggelegar.
“Lama banget sih Lo? Perasaan kosan lo sama kampus dekat deh!” semprot Doni.
“Biasanya gue juga nyampe jam segini kali. Elo ajah yang kecepatan datangnya.” Aku melirik jam tangan Gucciku, hadiah dari seseorang jadi aku tidak tahu asli atau palsu.
“Udah lebih dari setengah jam gue nungguin lo di sini.”
“Elo di sini dari jam 6an?” Tanyaku heran.
“Udah deh gak penting. To the point aja. Gue butuh bantuan lo, Sha.”
“Rey! Bantuan apa?”
“Gue mau konsul dulu sama lo.”
“Jangan sekarang, ya. Gue ada kuliah ni. Gimana kalau ntar jam 1 aja habis gue kuliah?”
“Oke! Gue tunggu lo di lobby.” Doni langsung saja berlalu.
“Dasar orang aneh. Udah nunggu dari pagi, mau aja nunggu sampe jam 1.”  Batinku.
***
Kuliah hari ini benar-benar membuatku ngantuk. Habis begadang semalaman karena pasien-pasien yang nekat online tengah malam hanya untuk konsul, hari ini harus mendengar kuliah yang semuanya teori. Aku menghela nafas.
Di lobi aku melihat doni sudah duduk manis menungguku. Begitu dia melihatku, ia langsung berdiri dan menarikku ke parkiran.
“Kita jangan ngomong di sini, ya. Ntar ada yang nguping.”
“Lho? Biasanya juga nak-anak kalau mau konsul sama gue di kampus kok. Udah di sini aja, ya. Gue lagi malas ke mana-mana nih.”
“Udah, lo ikut aja.”
Aku gak bisa lagi menolak ajakan doni. Sekarang aku sudah naik di atas motornya yang melaju ke luar kampus. Ia menjalankan motornya ke sebuah café yang tidak jauh dari kampus.
“Lo pesen aja. Ntar gue yang bayar.”
Karena lapar yang mulai menyerang, tanpa basa-basi aku memesan makanan. Doni membiarkanku menghabiskan makananku tanpa menyela sedikitpun. Aku yang tersadar langsung mengehentikan makanku.
“Oke. Gue udah selesai. Sekarang lo mau cerita apa?”
“Gue mau nanya pendapat lo.”
Ada kemiripan antara cerita doni dengan apa yang gue alamin selama ini. Doni saat ini sedang mengejar kembali cewek yang dia sayang waktu SMA. Karena sekarang beda kota, hubungan mereka hanya sebatas TTM. Doni sadar kalau menggantung hubungan seperti ini hanya memberi ketidakpastian sama hubungan mereka. Karena itu, doni mau memberi kepastian hubungan mereka. Hanya saja, sudah lebih dari sebulan mereka gak ada komunikasi. Doni jadi bingung harus memulai dari mana.
Gue merasa mendengar cerita cinta gue dari doni. Hubungan gue sama dimas memang lagi gak ada kejelasan. Entah karena dimas yang gak berani untuk berkomitmen atau waktunya yang kurang tepat. Aku selalu menyibukkan diri agar tidak memiliki waktu untuk memikirkan tentang hubunganku dengan dimas.
Anganku melayang ke saat pertemuanku yang terakhir dengan dimas yang sekaligus pertengkaran terakhirku dengannya. Dimas marah karena di hari terakhirku sebelum aku berangkat ke jogja, aku pergi dengan teman-temanku, bukan dengannya. Padahal saat itu, dimas sudah dua hari tidak menghubungiku. Bahkan menanyakan kabar pun tidak, yang akhirnya aku mendengar dari adiknya kalau dimas sedang ke luar kota saat itu karena ada acara keluarga. Ia tidak sempat memberi kabar karena sibuk membantu sepupunya yang sedang menikah. Tapi tetap saja, aku merasa dia sudah tidak adil.
“Sha?” doni membuyarkan lamunanku.
“Kenapa?”tanyaku.
“Terus gimana?”
“Lo temuin tuh cewek dan lo jelasin semuanya. Bawa juga barang yang dia suka. Tapi lo ngasihnya setelah dia ngerti sama hubungan kalian.”
“Berarti gue harus ke kota tempat dia kuliah dong?”
“Iyalah. Lo kan cowok, harus mau berkorban dong.”
“Oke, kalau gitu gue balik dulu, ya.” Doni berdiri dan melenggang begitu meninggalkan meja mereka.
“Oik!! Bayar dulu nih. Gue pulangnya gimana?” aku berteriak sampai seisi café melihatku.
“Tenang aja. Gue serahin lo ke sepupu  gue.” Jawab doni sambil keluar meninggalkan  café.
Aku melihat ke sekelilingku untuk mencari siapa orang yang dimaksud doni. Tapi aku tidak menemukan orang yang terlihat berjalan ke arahku.
“Permisi, mbak. Ini ada orange juice sama roti bakar buat mbak.” Seorang pelayan menghampiriku. “Tidak mungkin dia sepupu doni” pikirku.
“Mbak, ini ada sesuatu buat mbak.” Seorang pelayan lainnya menghampiriku dan memberikan sebuah kotak hitam.
Aku kembali duduk dan meminum orange juice yang diberikan pelayan tadi. Aku membuka kotak hitam yang ternyata berisi sebuah novel yang sedang aku cari dan sebuah kotak kecil yang berisi jam. Roti bakar itu menarik perhatianku, aku mencuil sedikit sambil membaca surat dari kotak hitam itu.

Aku hanya ingin meminta maaf.
Aku datang untuk menyampaikan cinta yang dulu tertunda.
Please, kasih aku kesempatan buat jelasin semuanya.
Sorry!!
                                                                                                DIMAS

Nama itu membuat aku kembali merasakan sedih, yang jujur saja sudah mulai hilang. Entah terbawa orange juice yang kuminum atau ikut tertelan bersama roti bakar yang kumakan.
Mataku kembali mencari sosok dimas. Ia berdiri dengan senyuman di dekat meja bar. Tangannya menenteng sebuah bola basket berwarna hitam. Ia bejalan dengan tetap menebarkan senyumnya.
Aku bingung dengan apa yang aku rasakan sekarang. Ada rasa bahagia, sedih, kaget, deg-degan, dan malu karena semua orang memperhatikan kami berdua.
“Maaf” katanya lembut.
“Gitu  doang?” tanyaku.
“Ini.” Dia memberikan bila basket itu kepadaku.
“Semuanya adalah kesukaanmu. Orange juice, roti bakar, novel, dan jam tangan. Dan ini yang terakhir. Bola basket berwarna hitam, karena hitam warna favorit kamu.”
“Apa kamu pikir dengan kamu ngasih aku semua ini aku bakal mau nerima kamu?”
“Emang aku nembak kamu?” jawab dimas yang membuat orang di sekitar kami tersenyum.
Aku memicingkan mata dan menatapnya sebal.
“Aku bukan ingin nembak kamu. Aku hanya ingin mengungkapkan apa yang aku rasain ke kamu. Aku sayang sama kamu.”
“So?” tanyaku cuek.
“Perasaan kamu gimana?” tanyanya mulai tidak sabar.
“Katanya cuma mau ngungkapin.” Elakku.
“Oke! Aku salah. Aku juga perlu tahu kan gimana perasaan kamu ke aku.”
“Apa aku perlu jawab lagi?” tanyaku sambil tersenyum.
“Tentu.”
Aku membereskan semua barang-barangku dan berjalan keluar café dengan menggandeng lengan dimas.
“Lain kali kalau kamu ngilang gak jelas lagi, jangan pernah muncul di hadapanku.”
Aku tersenyum tulus dan bahagia. Semua kesedihan yang kurasakan selama ini benar-benar hanyut terbawa orange juice dari dimas.
 ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat yang Tak Tersampaikan

Dear Pahlawan Wanitaku yang Paling Cantik,                 Aku bersenandung bersama isak pagi ini                 Terulang memori...