" Ini cerpen terbaru.. saya no comment aja deh.. ^^ "
LOVE IS (NOT) COMPLICATED
By : Ruth Hutapea
“Hahaha… That’s funny!”
“Zzzzzz….!!!”
“Why???”
“Itu tertawa atau menertawakan??”
“Yayaya… Logikanya sebagai pria lo harus
inisiatif duluan buat ngasih tempat duduk. Apalagi buat bumil kayak gitu.”
“Si bumil aja gak sewot. Kenapa malah ibu-ibu
sebelah gue yang ngomel. Lagian gue juga capek kali.”
“Tapi lo kan pria. Dewasa!”
“Pria dewasa juga manusia. Bisa capek”
“Wait! Lo pria kan ya?”
“Maksud lo?”
“Hahaha…”
“Kalau bercanda itu tau waktu dong!”
“Lah??”
….
“Hello??? Lo marah??”
….
“Gue bercanda kali..”
….
That’s it! Apa yang salah coba? Ini bukan
pertama kali bercandaan sarkastik seperti tadi mereka lakukan.
Sudah hampir seminggu dan tidak ada kemajuan
sama sekali. Bukan hanya sekali, sudah berkali-kali Yesha meminta maaf
dilengkapi dengan kebingungan tapi tetap tidak mendapat respon dari pihak
sebelah.
Hari ini Yesha terbang ke Jakarta untuk
menghadiri rapat di kantor biro iklan yang kebetulan tempat Ray bekerja. Well,
Jakarta is a big city, right? Dan perusahaan itu juga termasuk salah satu
perusahaan terbesar di Indonesia. Jadi, biar waktu yang mengatur.
Hidup itu serba kebetulan. Siang ini Yesha
temu janji dengan Sania, salah satu staff dari perusahaan biro iklan yang akan
mereka ajak kerja sama. It’s free time. Di luar jam kantor. Sania, Yesha, dan
Ray adalah teman dekat sejak SMA tapi dengan Sania, komunikasi Yesha tidak
terlalu intens seperti dengan Ray.
“So, lo sama Ray gak ada komunikasi sejak
itu?” Sania heran mendengar cerita Yesha.
“Yup! Gue udah minta maaf tapi tetap no
respon.”
“Lo mau ketemu sama Ray?”
“Ya kali dia mau ketemu gue. Heran! Itu anak
PMS berkepanjangan, ya?”
“Just wait and see!”
Sania mengambil Blackberry-nya dan terlihat
sibuk mengetik. Senyum jahilnya pun muncul.
“Beres! Lo tunggu aja. Pasti semua beres.”
Kening Yesha mengernyit.
Stop talking about it! Topik pembicaraan pun
berubah. Banyak hal menarik yang menjadi curhatan Sania. Dari dulu Sania memang
tergolong tipe orang yang aktif dan suka berpertualang, termasuk soal cinta.
Pembicaraan mereka terhenti karena dering
Blackberry Sania.
“Lo langsung ke foodcourt aja. Gue dari tadi
udah di sini.”
“Siapa, San?”
“Teman kantor gue. Eh gue ke toilet dulu ya.
Kalau dia datang, suruh duduk aja.”
“Tapi gue gak kenal.”
“Liat aja yang mukanya batak banget.”
Sania langsung ngeloyor pergi meninggalkan
Yesha yang masih bingung.
Gak lama, dari jauh Yesha bisa mengenali
sosok itu. Ya! Mukanya memang batak banget. Berkharisma dengan rahang yang
tegas. Melihatnya saja sudah membuat Yesha keringat dingin. Dia belum siap
untuk berhadapan langsung dengan Ray.
“Kenapa lo di sini?” Tanya Ray tanpa menyapa.
“Gue bareng Sania. Teman yang dia maksud itu
elo?”
“Lo sengaja nyuruh Sania nelpon gue supaya
gue ke sini?”
“Enggak lah. Ini semua tuh kerjaan Sania.”
“Harusnya gue udah curiga waktu Sania bilang
ada teman lama yang pengen ketemu sama gue.”
“Kenapa sih lo selalu aja salah paham sama
gue? Lo PMS? PMS kok berkepanjangan.”
“Becandaan lo gak lucu.”
HENING….
Ray mengambil tempat duduk di depan Yesha.
Mereka diam seribu bahasa.
“Gue tahu waktu itu gue salah, Ray. Gue minta
maaf karena omongan gue. Tapi beneran deh itu cuma becandaan. Gue gak ada niat
sama sekali."
“…”
“Ngomong dong, Ray! Jangan kayak anak kecil
gini. Kasih tahu gue harus gimana.”
Ray masih tetap diam.
“Lo mau gue nangis di depan umum terus
berlutut gitu?”
Ray mendelik tidak percaya karena tahu Yesha
bukan tipe orang yang gampang menangis.
“Ada apa sebenarnya, Ray? Bisa kita obrolin
baik-baik kan?”
“…”
Diam lagi. Tiba-tiba menghitung jumlah orang yang
naik eskalator lebih menarik bagi Yesha. Melihat mimik muka Ray yang datar
dengan kening mengernyit seperti itu membuat Yesha bingung.
“Gue tahu ini bukan pertama kali lo marah
karena becandaan gue. Tapi ini masih kedua kali, Ray! Dari dulu becandaan kita
memang standar seperti itu. Belakangan ini elo jadi orang yang sensitif. Lo
lagi ada masalah?”
“Bisa gak sih lo gak usah selalu pengen tahu
masalah orang lain?”
WHAT?! Orang lain..!!??
“Oh! Jadi buat lo, gue udah jadi orang lain?”
Ada sesuatu yang menyayat hati Yesha saat mendengar kata ‘orang lain’.
“Oke! Gue udah tahu posisi gue.” Yesha tidak
sanggup menatap wajah Ray. Air matanya terasa hampir jatuh.
“Lo gak usah khawatir. Gue gak akan pernah
lagi ikut campur urusan lo. Gue gak akan pernah lagi gangguin hidup lo. Bahkan
gue gak akan pernah lagi muncul di hadapan lo. Puas?” Yesha bangkit dan
meninggalkan Ray. Hatinya sangat sakit, tapi air matanya tidak juga jatuh.
Bangun sesubuh ini adalah wajar di kota
Jakarta. Kota yang tidak pernah berhenti selama 24 jam. Pagi ini Yesha harus
menghadiri meeting dengan pihak biro iklan yang akan membuat iklan produk baru
perusahaan tempat ia bekerja. Dengan setengah hati Yesha berangkat, berharap
tidak akan menghadapi Ray lagi hari ini.
“Demikian gambaran produk perusahaan kami.
Saya yakin Bapak dan Ibu sudah menerima draft sebelumnya. Jadi, saya percayakan
iklan ini pada biro iklan ini sepenuhnya. Terima kasih.”
“Terima kasih, Ibu Yesha. Dari pihak kami
sudah menyiapkan tiga desain iklan produk Ibu. Silahkan Sania!”
Dua desain yang sangat bagus. Dia tidak salah
menjatuhkan pilihan pada biro iklan ini. Walaupun bagus, tapi masih ada saja
yang mengganjal yang tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Ia memfokuskan
pikirannya pada presentasi dan mencatat poin-poin plus-minus dari setiap tim
tanpa menyadari tatapan seseorang yang baru saja bergabung dengan mereka,
menatap dengan penuh Tanya “Kenapa Yesha bisa ada di sini?”
“Baik, untuk tim terakhir. Silahkan, Ray!”
Yesha tersentak. Apa yang dikhawatirkannya
menjadi nyata. Sulit untuk fokus jika orang yang tidak ingin kita temui justru
harus kita perhatikan selama lima belas menit. Harus diakui, desainRay
mendekati keinginan Yesha. Hanya tinggal dibenahi sedikit. Satu kendala, jika
ia memilih desain Ray, dia akan berurusan terus dengan Ray. No! Asistennya bisa
mewakili. Nanti akan ia rembukkan dengan asistennya.
Coffee break time…
“Dua sendok kpoi, satu sendok gula. Itu kan
komposisi kopi lo?” Ray sudah berada di sebelah Yesha untuk antri.
Dalam diam Yesha menambahkan satu sendok gula
lagi ke dalam kopinya. “I don’t like sugar.” Gumamnya dalam hati. “Demi
gengsi.”
Yesha segera duduk di sebelah nety,
asistennya.
“Net, untuk iklan ini kamu yang handle ya.
Saya banyak pekerjaan. Oiya, kamu pilih yang mana?”
“Saya yang terakhir, Bu. Tapi tidak apa-apa
saya yang pegang?”
“Gak apa-apa. Kalau ada yang kurang jelas,
kamu bisa Tanya saya.”
“Baik, Bu.”
Satu masalah selesai. Yesha menyeruput
kopinya. Rasa manis langsung menyebar di mulutnya. Ia menyesal demi gengsi
harus menyiksa lidah begini. Setelah bertanya pada salah satu staf, ia berjalan
menuju toilet. Langkahnya terhenti melihat Ray berdiri bersandar di depan
toilet wanita. Ia berusaha bersikap sedingin mungkin. Langkahnya terhenti.
“Lo ngikutin gue?”
“Look! Gue ke sini karena kerjaan dan gue gak
tahu kalau loe juga ikut di project ini.”
“Maksud lo?”
“Lo tenang aja. Gue pasti tepatin janji gue.”
“Terima kasih, Bu Yesha. Anda sudah
mempercayakan iklan ini pada company kami. Selanjutnya Ibu bisa komunikasi
langsung dengan Ray.” Ray segera menghampiri mereka.
“Oiya, untuk project ini, asisten saya Nety
yang akan menanggungjawabi. Jadi Pak Ray bisa melanjutkannya dengan Nety.”
“Oh, begitu? Ya diatur saja bagaimana
baiknya.”
Hari yang melelahkan bagi Yesha. Berendam
dengan air hangat menjadi rencana selanjutnya begitu sampai di hotel. Ia
melemparkan tubuhnya ke tempat tidur untuk sekadar merenggangkan badan dan
segera bangkit mengingat rencananya sebelumnya. Ia mulai mengisi bath-up lalu
melepas pakaiannya.
Nyesh! Air hangat memang paling mujarab untuk
meredakan emosi dan rasa lelah. Yesha memejamkan mata dan menikmati rasa hangat
yang diserap tubuhnya.
Ia meraih hape dan melihat 5 missed call dari
Ray. Nomor Ray sudah dia hapus dari contact list tapi justru terhapal olehnya.
Ia keluar dari bath-up. Sudah hampir sejam ia tertidur sambil berendam.
Ia mengecek jadwal dan deadline jobnya. Dua
minggu lagi ia harus menghadiri seminar di PTN di Bandung. Pekerjaannya sebagai
Humas menuntutnya untuk sering terbang -ke sana-sini.
TING!TONG!
Yesha melirik dari lubang di pintu. Sosok itu
lagi. Apa yang sebenarnya dia inginkan? Ia membuka pintu.
“Ya? Ada apa?”
“Boleh gue masuk? Gue mau ngomongin soal
iklan.” Ray berkata sambil menerobos masuk dan menghempaskan tubuhnya di tempat
tidur.
“Wait! Lo gak dengar tadi gue ngomong? Iklan
itu ditanggungjawabi asisten gue. Kamarnya ada di sebrang. Dan itu tempat tidur
gue.”
“Hmm..”
“So?”
“So, biarin gue tidur sebentar.”
“What?”
Ray bergelung di bawah selimut. Melihat wajah
lelah Ray, Yesha tidak tega mengusirnya. Ia membiarkan Ray tidur dan kembali
fokus pada pekerjaannya.
Sudah dua jam lebih tapu Ray tidak juga
bangun. Yesha menyentuh pelan pundak Ray untuk membangunkannya.
“Ray, bangun! Gue harus keluar sekarang.”
Ray mulai membuka matanya dan tersenyum.
Sudah lama Yesha tidak melihat senyum mantan sahabatnya itu.
“Kamu mau kemana, Yesha?”
“Wake up! Lo jangan ngelantur, Ray! Gue
buru-buru ini.” Yesha menarik selimut dan berganti menarik tangan Ray. Ray
tersadar.
“Apaan sih? Gue masih ngantuk.”
“Lo bisa pulang dan tidur di apartement lo.”
“Lo mau gue nabrak di jalan karena ngantuk?”
“Alesan! Lo kan bisa naik taksi.”
“Segitu gak maunya ya lo liat gue?”
“Hah? Gak kebalik?”
“Pokoknya gue gak mau pergi. Gue mau tidur di
sini.” Ray kembali merebahkan badannya.
Yesha masuk ke kamar mandi. Emosinya sudah
di ubun-ubun. Ditambah lagi rasa bingungnya. Ia keluar dan mendekati Ray.
“Lo maunya apa sih? Gue tahu gue salah. Gue
bahkan udah minta maaf sama lo tapi lo sama sekali gak respon. Gue juga udah
janji gak akan muncul dan ganggu lo. Apalagi yang kurang? Lo mau gue berlutut
dan minta maaf?” Air matanya mulai mengalir.
Ray yang menyadarinya, langsung terduduk. “Lo
nangis?”
“Iya! Ini kan yang lo mau? Segitu sakit
hatinya ya lo sama kata-kata gue?”
Ray berdiri dan memeluk Yesha. Perlawanan
Yesha tidak sebanding dengan kekuatan Ray.
“Gak, Yesha. Kamu gak boleh nangis, apalagi
karena aku.” Yesha semakin terisak.
“Aku yang harusnya minta maaf. Karena gengsi,
aku gak bisa ngomong apa-apa. Karena gengsi, aku gak bisa melarang kamu pergi.
Karena gengsi juga, aku gak bisa jujur sama perasaanku.”
“…”
“BBM kamu yang nganggep aku gak pria, bikin
aku down karena kamu gak melihat aku sebagai seorang pria, pria yang bisa aja
punya perasaan lebih untuk kamu.” Ray membelai rambut Yesha.
“Di foodcourt aku senang banget bisa ketemu
kamu lagi. Aku coba becanda tapi ternyata situasi masih beda. Lagi-lagi
gengsiku menang.” Yesha ingin melepas rangkulan Ray tapi Ray menahannya.
“Sampai akhirnya kita ketemu di kantor. Kamu
tahu? Aku kaget dan bingung harus bersikap gimana. Apalagi kamu dingin ngejawab
aku. Akhirnya aku keluar. Aku gak sadar berdiri di dekat toilet wanita sampai
kami datang. Aku pikir kamu ngikutin aku.”
“Aku gakk pernah ngikutin kamu.” Yesha mulai
terbawa ‘aku-kamu’. Ray tersenyum.
“Aku sayang sama kamu, Yesha!”
Yesha melepas rangkulan Ray dan menatap
matanya.
“Kamu pikir dengan menciptakan suasana kayak
gini, aku langsung percaya omongan kamu? Kamu bahkan gak berani ngomong sambil
melihat aku.”
Ray menatap mata Yesha dalam. “Aku sayang
kamu!”
“Syukur deh. Ternyata persahabatan kita masih
aman. Aku juga sayang sama kamu.”
Kening Ray mengernyit. “Maksud kamu?”
“Zaman sekarang wajar kok sesama sahabat
pelukan. Sesama sahabat juga harus saling sayang kan?”
Ray menangkap permainan Yesha. Ia pun
tersenyum
“Tapi sahabat gak wajar kan kalau kayak
gini?”
Ray dengan cepat mengecup bibir Yesha dan menciumnya. Yesha terdiam kaget.
“I love you, Yesha! Itu kan yang pengen kamu
dengar?”
Yesha tersenyum. Ia melingkarkan tangannya di
leher Ray dan membalas setiap ciuman Ray dengan mesra.
“Why our love is complicated?” Tanya Yesha.
“No. Love is not complicated, Honey! Kalau
saja gak pake gengsi.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar