Kamis, 14 Februari 2013

Love Is (not) Complicated



" Ini cerpen terbaru.. saya no comment aja deh.. ^^ "
LOVE IS (NOT) COMPLICATED
By : Ruth Hutapea
“Hahaha… That’s funny!”
“Zzzzzz….!!!”
“Why???”
“Itu tertawa atau menertawakan??”
“Yayaya… Logikanya sebagai pria lo harus inisiatif duluan buat ngasih tempat duduk. Apalagi buat bumil kayak gitu.”
“Si bumil aja gak sewot. Kenapa malah ibu-ibu sebelah gue yang ngomel. Lagian gue juga capek kali.”
“Tapi lo kan pria. Dewasa!”
“Pria dewasa juga manusia. Bisa capek”
“Wait! Lo pria kan ya?”
“Maksud lo?”
“Hahaha…”
“Kalau bercanda itu tau waktu dong!”
“Lah??”
….
“Hello??? Lo marah??”
….
“Gue bercanda kali..”
….


That’s it! Apa yang salah coba? Ini bukan pertama kali bercandaan sarkastik seperti tadi mereka lakukan.

Sudah hampir seminggu dan tidak ada kemajuan sama sekali. Bukan hanya sekali, sudah berkali-kali Yesha meminta maaf dilengkapi dengan kebingungan tapi tetap tidak mendapat respon dari pihak sebelah.

Hari ini Yesha terbang ke Jakarta untuk menghadiri rapat di kantor biro iklan yang kebetulan tempat Ray bekerja. Well, Jakarta is a big city, right? Dan perusahaan itu juga termasuk salah satu perusahaan terbesar di Indonesia. Jadi, biar waktu yang mengatur.

Hidup itu serba kebetulan. Siang ini Yesha temu janji dengan Sania, salah satu staff dari perusahaan biro iklan yang akan mereka ajak kerja sama. It’s free time. Di luar jam kantor. Sania, Yesha, dan Ray adalah teman dekat sejak SMA tapi dengan Sania, komunikasi Yesha tidak terlalu intens seperti dengan Ray.

“So, lo sama Ray gak ada komunikasi sejak itu?” Sania heran mendengar cerita Yesha.
“Yup! Gue udah minta maaf tapi tetap no respon.”
“Lo mau ketemu sama Ray?”
“Ya kali dia mau ketemu gue. Heran! Itu anak PMS berkepanjangan, ya?”
“Just wait and see!”
Sania mengambil Blackberry-nya dan terlihat sibuk mengetik. Senyum jahilnya pun muncul.
“Beres! Lo tunggu aja. Pasti semua beres.”
Kening Yesha mengernyit.

Stop talking about it! Topik pembicaraan pun berubah. Banyak hal menarik yang menjadi curhatan Sania. Dari dulu Sania memang tergolong tipe orang yang aktif dan suka berpertualang, termasuk soal cinta.

Pembicaraan mereka terhenti karena dering Blackberry Sania.
“Lo langsung ke foodcourt aja. Gue dari tadi udah di sini.”

“Siapa, San?”
“Teman kantor gue. Eh gue ke toilet dulu ya. Kalau dia datang, suruh duduk aja.”
“Tapi gue gak kenal.”
“Liat aja yang mukanya batak banget.”
Sania langsung ngeloyor pergi meninggalkan Yesha yang masih bingung.

Gak lama, dari jauh Yesha bisa mengenali sosok itu. Ya! Mukanya memang batak banget. Berkharisma dengan rahang yang tegas. Melihatnya saja sudah membuat Yesha keringat dingin. Dia belum siap untuk berhadapan langsung dengan Ray.
“Kenapa lo di sini?” Tanya Ray tanpa menyapa.
“Gue bareng Sania. Teman yang dia maksud itu elo?”
“Lo sengaja nyuruh Sania nelpon gue supaya gue ke sini?”
“Enggak lah. Ini semua tuh kerjaan Sania.”
“Harusnya gue udah curiga waktu Sania bilang ada teman lama yang pengen ketemu sama gue.”
“Kenapa sih lo selalu aja salah paham sama gue? Lo PMS? PMS kok berkepanjangan.”
“Becandaan lo gak lucu.”
HENING….
Ray mengambil tempat duduk di depan Yesha. Mereka diam seribu bahasa.
“Gue tahu waktu itu gue salah, Ray. Gue minta maaf karena omongan gue. Tapi beneran deh itu cuma becandaan. Gue gak ada niat sama sekali."
“…”
“Ngomong dong, Ray! Jangan kayak anak kecil gini. Kasih tahu gue harus gimana.”
Ray masih tetap diam.
“Lo mau gue nangis di depan umum terus berlutut gitu?”
Ray mendelik tidak percaya karena tahu Yesha bukan tipe orang yang gampang menangis.
“Ada apa sebenarnya, Ray? Bisa kita obrolin baik-baik kan?”
“…”
Diam lagi. Tiba-tiba menghitung jumlah orang yang naik eskalator lebih menarik bagi Yesha. Melihat mimik muka Ray yang datar dengan kening mengernyit seperti itu membuat Yesha bingung.
“Gue tahu ini bukan pertama kali lo marah karena becandaan gue. Tapi ini masih kedua kali, Ray! Dari dulu becandaan kita memang standar seperti itu. Belakangan ini elo jadi orang yang sensitif. Lo lagi ada masalah?”
“Bisa gak sih lo gak usah selalu pengen tahu masalah orang lain?”
WHAT?! Orang lain..!!??
“Oh! Jadi buat lo, gue udah jadi orang lain?” Ada sesuatu yang menyayat hati Yesha saat mendengar kata ‘orang lain’.
“Oke! Gue udah tahu posisi gue.” Yesha tidak sanggup menatap wajah Ray. Air matanya terasa hampir jatuh.
“Lo gak usah khawatir. Gue gak akan pernah lagi ikut campur urusan lo. Gue gak akan pernah lagi gangguin hidup lo. Bahkan gue gak akan pernah lagi muncul di hadapan lo. Puas?” Yesha bangkit dan meninggalkan Ray. Hatinya sangat sakit, tapi air matanya tidak juga jatuh.

Bangun sesubuh ini adalah wajar di kota Jakarta. Kota yang tidak pernah berhenti selama 24 jam. Pagi ini Yesha harus menghadiri meeting dengan pihak biro iklan yang akan membuat iklan produk baru perusahaan tempat ia bekerja. Dengan setengah hati Yesha berangkat, berharap tidak akan menghadapi Ray lagi hari ini.

“Demikian gambaran produk perusahaan kami. Saya yakin Bapak dan Ibu sudah menerima draft sebelumnya. Jadi, saya percayakan iklan ini pada biro iklan ini sepenuhnya. Terima kasih.”
“Terima kasih, Ibu Yesha. Dari pihak kami sudah menyiapkan tiga desain iklan produk Ibu. Silahkan Sania!”
Dua desain yang sangat bagus. Dia tidak salah menjatuhkan pilihan pada biro iklan ini. Walaupun bagus, tapi masih ada saja yang mengganjal yang tidak sesuai dengan yang diharapkannya. Ia memfokuskan pikirannya pada presentasi dan mencatat poin-poin plus-minus dari setiap tim tanpa menyadari tatapan seseorang yang baru saja bergabung dengan mereka, menatap dengan penuh Tanya “Kenapa Yesha bisa ada di sini?”

“Baik, untuk tim terakhir. Silahkan, Ray!”
Yesha tersentak. Apa yang dikhawatirkannya menjadi nyata. Sulit untuk fokus jika orang yang tidak ingin kita temui justru harus kita perhatikan selama lima belas menit. Harus diakui, desainRay mendekati keinginan Yesha. Hanya tinggal dibenahi sedikit. Satu kendala, jika ia memilih desain Ray, dia akan berurusan terus dengan Ray. No! Asistennya bisa mewakili. Nanti akan ia rembukkan dengan asistennya.

Coffee break time…
“Dua sendok kpoi, satu sendok gula. Itu kan komposisi kopi lo?” Ray sudah berada di sebelah Yesha untuk antri.
Dalam diam Yesha menambahkan satu sendok gula lagi ke dalam kopinya. “I don’t like sugar.” Gumamnya dalam hati. “Demi gengsi.”
Yesha segera duduk di sebelah nety, asistennya.
“Net, untuk iklan ini kamu yang handle ya. Saya banyak pekerjaan. Oiya, kamu pilih yang mana?”
“Saya yang terakhir, Bu. Tapi tidak apa-apa saya yang pegang?”
“Gak apa-apa. Kalau ada yang kurang jelas, kamu bisa Tanya saya.”
“Baik, Bu.”
Satu masalah selesai. Yesha menyeruput kopinya. Rasa manis langsung menyebar di mulutnya. Ia menyesal demi gengsi harus menyiksa lidah begini. Setelah bertanya pada salah satu staf, ia berjalan menuju toilet. Langkahnya terhenti melihat Ray berdiri bersandar di depan toilet wanita. Ia berusaha bersikap sedingin mungkin. Langkahnya terhenti.
“Lo ngikutin gue?”
“Look! Gue ke sini karena kerjaan dan gue gak tahu kalau loe juga ikut di project ini.”
“Maksud lo?”
“Lo tenang aja. Gue pasti tepatin janji gue.”

“Terima kasih, Bu Yesha. Anda sudah mempercayakan iklan ini pada company kami. Selanjutnya Ibu bisa komunikasi langsung dengan Ray.” Ray segera menghampiri mereka.
“Oiya, untuk project ini, asisten saya Nety yang akan menanggungjawabi. Jadi Pak Ray bisa melanjutkannya dengan Nety.”
“Oh, begitu? Ya diatur saja bagaimana baiknya.”
Hari yang melelahkan bagi Yesha. Berendam dengan air hangat menjadi rencana selanjutnya begitu sampai di hotel. Ia melemparkan tubuhnya ke tempat tidur untuk sekadar merenggangkan badan dan segera bangkit mengingat rencananya sebelumnya. Ia mulai mengisi bath-up lalu melepas pakaiannya.
Nyesh! Air hangat memang paling mujarab untuk meredakan emosi dan rasa lelah. Yesha memejamkan mata dan menikmati rasa hangat yang diserap tubuhnya.
Ia meraih hape dan melihat 5 missed call dari Ray. Nomor Ray sudah dia hapus dari contact list tapi justru terhapal olehnya. Ia keluar dari bath-up. Sudah hampir sejam ia tertidur sambil berendam.
Ia mengecek jadwal dan deadline jobnya. Dua minggu lagi ia harus menghadiri seminar di PTN di Bandung. Pekerjaannya sebagai Humas menuntutnya untuk sering terbang -ke sana-sini.

TING!TONG!
Yesha melirik dari lubang di pintu. Sosok itu lagi. Apa yang sebenarnya dia inginkan? Ia membuka pintu.
“Ya? Ada apa?”
“Boleh gue masuk? Gue mau ngomongin soal iklan.” Ray berkata sambil menerobos masuk dan menghempaskan tubuhnya di tempat tidur.
“Wait! Lo gak dengar tadi gue ngomong? Iklan itu ditanggungjawabi asisten gue. Kamarnya ada di sebrang. Dan itu tempat tidur gue.”
“Hmm..”
“So?”
“So, biarin gue tidur sebentar.”
“What?”
Ray bergelung di bawah selimut. Melihat wajah lelah Ray, Yesha tidak tega mengusirnya. Ia membiarkan Ray tidur dan kembali fokus pada pekerjaannya.
Sudah dua jam lebih tapu Ray tidak juga bangun. Yesha menyentuh pelan pundak Ray untuk membangunkannya.
“Ray, bangun! Gue harus keluar sekarang.”
Ray mulai membuka matanya dan tersenyum. Sudah lama Yesha tidak melihat senyum mantan sahabatnya itu.
“Kamu mau kemana, Yesha?”
“Wake up! Lo jangan ngelantur, Ray! Gue buru-buru ini.” Yesha menarik selimut dan berganti menarik tangan Ray. Ray tersadar.
“Apaan sih? Gue masih ngantuk.”
“Lo bisa pulang dan tidur di apartement lo.”
“Lo mau gue nabrak di jalan karena ngantuk?”
“Alesan! Lo kan bisa naik taksi.”
“Segitu gak maunya ya lo liat gue?”
“Hah? Gak kebalik?”
“Pokoknya gue gak mau pergi. Gue mau tidur di sini.” Ray kembali merebahkan badannya.
Yesha masuk ke kamar mandi. Emosinya sudah di ubun-ubun. Ditambah lagi rasa bingungnya. Ia keluar dan mendekati Ray.
“Lo maunya apa sih? Gue tahu gue salah. Gue bahkan udah minta maaf sama lo tapi lo sama sekali gak respon. Gue juga udah janji gak akan muncul dan ganggu lo. Apalagi yang kurang? Lo mau gue berlutut dan minta maaf?” Air matanya mulai mengalir.
Ray yang menyadarinya, langsung terduduk. “Lo nangis?”
“Iya! Ini kan yang lo mau? Segitu sakit hatinya ya lo sama kata-kata gue?”
Ray berdiri dan memeluk Yesha. Perlawanan Yesha tidak sebanding dengan kekuatan Ray.
“Gak, Yesha. Kamu gak boleh nangis, apalagi karena aku.” Yesha semakin terisak.
“Aku yang harusnya minta maaf. Karena gengsi, aku gak bisa ngomong apa-apa. Karena gengsi, aku gak bisa melarang kamu pergi. Karena gengsi juga, aku gak bisa jujur sama perasaanku.”
“…”
“BBM kamu yang nganggep aku gak pria, bikin aku down karena kamu gak melihat aku sebagai seorang pria, pria yang bisa aja punya perasaan lebih untuk kamu.” Ray membelai rambut Yesha.
“Di foodcourt aku senang banget bisa ketemu kamu lagi. Aku coba becanda tapi ternyata situasi masih beda. Lagi-lagi gengsiku menang.” Yesha ingin melepas rangkulan Ray tapi Ray menahannya.
“Sampai akhirnya kita ketemu di kantor. Kamu tahu? Aku kaget dan bingung harus bersikap gimana. Apalagi kamu dingin ngejawab aku. Akhirnya aku keluar. Aku gak sadar berdiri di dekat toilet wanita sampai kami datang. Aku pikir kamu ngikutin aku.”
“Aku gakk pernah ngikutin kamu.” Yesha mulai terbawa ‘aku-kamu’. Ray tersenyum.
“Aku sayang sama kamu, Yesha!”
Yesha melepas rangkulan Ray dan menatap matanya.
“Kamu pikir dengan menciptakan suasana kayak gini, aku langsung percaya omongan kamu? Kamu bahkan gak berani ngomong sambil melihat aku.”
Ray menatap mata Yesha dalam. “Aku sayang kamu!”
“Syukur deh. Ternyata persahabatan kita masih aman. Aku juga sayang sama kamu.”
Kening Ray mengernyit. “Maksud kamu?”
“Zaman sekarang wajar kok sesama sahabat pelukan. Sesama sahabat juga harus saling sayang kan?”
Ray menangkap permainan Yesha. Ia pun tersenyum
“Tapi sahabat gak wajar kan kalau kayak gini?”
Ray dengan cepat mengecup bibir Yesha dan menciumnya. Yesha terdiam kaget.
“I love you, Yesha! Itu kan yang pengen kamu dengar?”
Yesha tersenyum. Ia melingkarkan tangannya di leher Ray dan membalas setiap ciuman Ray dengan mesra.
“Why our love is complicated?” Tanya Yesha.
“No. Love is not complicated, Honey! Kalau saja gak pake gengsi.”
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat yang Tak Tersampaikan

Dear Pahlawan Wanitaku yang Paling Cantik,                 Aku bersenandung bersama isak pagi ini                 Terulang memori...