Senin, 27 September 2010

Cerita Ulat dan Kupu-Kupu

Kamis, 23 September 2010 tepat saat kuliah AOSTK bersama Pak Tijan diawali dengan perumpamaan yang bermakna. Setelah sapaan dan ucapan minal aidin wal faidzin (bener gak sih penulisannya? J ), Beliau mulai bertanya “Apa yang pertama kali Anda pikirkan ketika mendengar kata ulat?”. Kami pun menanggapi dengan mengerutkan kening. Apa hubungannya ulat dengan mata kuliah ini? Pertanyaan pun diulang pertanda beliau tidak salah memberikan pertanyaan dan kami tidak salah mendengar tadi.
“Kecil, pak!” jawab salah seorang mahasiswa.
“Kotor”
“Gatal”
“Rakus, Pak! Semua pasti dimakan.”
Satu persatu jawaban dari para mahasiswa terucap sambil tertawa (mulai merasa kuliah ini asik). Banyak hal yang mencirikan ulat, ia kecil, lemah, gatal, kotor, menggelikan, dan juga rakus. Sampai di situ, kami belum mengerti arah pertanyaannya.
“Lalu bagaimana dengan kupu-kupu? Apa yang kalian pikirkan tentang kupu-kupu?” pertanyaan pun berlanjut. Semua menjawab sekenanya.
“Metamorfosisi, Pak!”
“Cantik”
“Indah”
“Madu”
“Kepompong”
Sedikit terarah, kami pun mulai mengerti. Beliau menjelaskan mengapa Ia menanyakan hal ini. Begini penjelasannya (ehem,,ehem,,)

Awalnya seekor ulat begitu tidak dipandang karena ia kecil, kotor, menjijikkan untuk beberapa orang, dan yang paling terlihat adalah ulat itu hewan yang rakus. Di mana saja ia berada, ia akan memakan daun-daun sampai habis. Pekerjaannya selalu saja makan, makan, dan makan.




Kemudian ulat itu mengalami metamorfosis menjadi kepompong. Pada fase ini kita dapat mengatakan ia sedang bersemedi memikirkan perjalanan hidupnya selama menjadi ulat. Ia mulai sadar akan kerakusannya memakan daun-daun.

Setelah merenung selama menjadi kepompong, ia mengalami perubahan fase menjadi kepompong yang indah, yang cantik. Selain itu, ia tidak lagi rakus memakan semua dedaunan semaunya. Ia hanya memakan madu dari bunga-bunga untuk membantu proses penyerbukan. Ia menjadi hewan yang sangat berguna.

“Sama dengan kehidupan kita. Sangat diharapkan kita seperti kupu-kupu yang mampu bermetamorfosis menjadi pribadi yang lebih baik dan berguna bagi orang lain.”



Kalau dipikir-pikir (efek kebanyakan mikir di tekim, hehehe) logis juga perumpamaan bapak dosen kali ini. Kita sebagai manusia masih membiarkan diri kita menjadi seekor ulat yang rakus. Banyak yang tidak setuju? Coba saja diingat-ingat bagaimana kehidupan kita (bukan kalian J ) berjalan selama ini. Sedikit pasti ada “jelmaan ulat” dalam diri kita, bukan?
Sekarang tinggal bagaimana kita memproses diri menjadi “jelmaan kupu-kupu” yang indah dipandang (dalam hal ini bukan make up pastinya, tapi inner beauty) dan berguna bagi orang lain. Biarkan diri kita menjadi kepompong sejenak untuk merenungkan apa yang sudah kita lakukan selama ini dan ingin jadi apa kita nantinya, tetap menjadi ulat atau menjadi kupu-kupu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Surat yang Tak Tersampaikan

Dear Pahlawan Wanitaku yang Paling Cantik,                 Aku bersenandung bersama isak pagi ini                 Terulang memori...